Mempelajari Prinsip Sukses Para Konglomerat dari Buku Taipan

Minggu lalu (20 Maret 2022) saya baru saja menyelesaikan trilogi “Taipan”, sebuah novel sejarah yang menceritakan para taipan (bos besar) Indonesia. Disebut novel sejarah karena buku ini menceritakan kisah hidup para konglomerat Indonesia dengan gaya bercerita ala novel yang dramatis; disebut trilogi karena terdiri dari tiga seri dan tebal-tebal bukunya, buku pertama sekitar 700an halaman, buku pertama sekitar 400an halaman, dan buku ketiga sekitar 900an halaman – total sekitar 2000an halaman.

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa hampir semua tokoh di dalam novel ini adalah nama samaran. Jadi, kita tidak akan mengetahui siapa orang yang sedang diceritakan di dalam buku ini, kecuali kita mencari tahu melalui Google. Dugaan saya, penulis novel ini sengaja menyamarkan nama para tokoh untuk menghindari pelanggaran hukum, sebab sebagian besar orang yang diceritakan di dalam buku ini masih hidup dan masih berstatus bos besar. Kedua, sumber data dari buku ini kurang dijabarkan dengan jelas – yang sebenarnya wajar saja, sebab ini adalah buku novel, bukan buku sejarah atau buku teks. Tetapi jika saya mengamati dan membandingkan informasi dari buku ini dengan sumber-sumber lain yang saya temukan di internet, saya menduga penulis buku ini mengambil berbagai wawancara dengan tokoh, dari berita-berita yang bermunculan pada masa itu, hingga gosip-gosip yang menyebar secara tidak resmi. Pun saya menduga ada beberapa tokoh yang memang diwawancara langsung oleh sang penulis, mengingat latar belakang sang penulis buku ini – William Yang – adalah seorang konsultan bisnis senior.

Tulisan ini akan membahas buku Taipan yang pertama, yang diberi sub-judul “Lahirnya Para Konglomerat”. Buku pertama ini memiliki dua tokoh utama yang diceritakan secara terpisah, yakni (1) Wang Zhen alias Constantine King dan (2) Zhou Sheng Ru alias Budi Firdaus (ingat, keduanya adalah nama samaran). Constantine King adalah anak seorang pedagang di Malang yang sejak kecil sudah bercita-cita ingin menjadi seorang bankir, karena ia selalu melihat pegawai bank yang berseragam rapi dan terlihat berwibawa. Namun orangtua Constantine selalu mematikan cita-citanya dengan mengatakan bahwa ia hanyalah anak seorang pedagang dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi bankir. Nantinya Constantine pergi merantau dan mendapatkan kesempatan bekerja di bank, yang kemudian berkenalan seorang pria bernama Khalil Sultan dan kelak mereka akan menjadi saudara ipar. Constantine King nantinya akan menjadi direktur utama berbagai bank besar, seperti Bank Buana, Bank Industri Dagang Indonesia, Bank Kemakmuran, Bank Panin, Bank Central Asia, dan terakhir Bank “Infinity” (nama samaran); sedangkan Khalil Wang nantinya akan menjadi pendiri Bank “Maskapai Indonesia” disingkat “Masin” (nama samaran, baik Bank Infinity dan Bank Masin adalah dua nama besar di Indonesia). Sedangkan Zhou Sheng Ru adalah putra seorang janda miskin asal Purwakarta yang kemudian pergi merantau ke Jakarta sendirian untuk bekerja di toko milik sahabat mendiang ayahnya. Di sana Zhou Sheng Ru bersahabat dengan putra bosnya yang bernama Chen Si, yang nantinya ketika mereka berdua sudah berusia dewasa akan membuka usaha bersama. Beberapa usaha besar yang mereka bentuk adalah Great River International (perusahaan besar di bidang garment, bangkrut pada tahun 2010) dan “Kuta International Bank” (sekarang sudah merger bersama beberapa bank lain dan menjadi salah satu bank besar di Indonesia).

Nah, tulisan ini bukan untuk menceritakan ulang novel ini, melainkan beberapa pembelajaran yang saya peroleh dari buku Taipan 1 ini. Ini beberapa di antaranya:

  1. “Mengejar dan Menunggang Kuda”

Dikisahkan bahwa pada suatu hari Constantine keluar dari Bank “Masin” yang ia rintis bersama kakak iparnya, karena perbedaan pendapat antara Constantine dengan para pemegang saham. Saat itu Constantine sedikit bingung dengan hal apa yang akan ia kerjakan selanjutnya, tetapi ketika ia hendak mengunjungi putranya di luar negeri, ia tidak sengaja berada satu pesawat dengan Om Lim – seorang pengusaha yang dekat dengan presiden Soeharto (you know who) – dan mengajaknya untuk bersama-sama membangun “Asia Central Bank” alias “ACB” (nama samaran). Constantine kemudian teringat dengan pesan yang pernah ia peroleh “mengejar dan menunggang kuda”, maksudnya adalah mendekati orang yang sudah sukses terlebih dahulu dan mengikutinya.  “Kalau mengejar kuda dengan menunggang kuda yang lebih hebat, pasti akan lebih mudah mengejar kuda di depan,” itu makna di balik filosofi mengejar dan menunggang kuda. Hasilnya? ACB menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia, bahkan di Asia, hingga saat ini. Bahkan saya adalah nasabah ACB, dan bisa saya pastikan 90% orang Indonesia yang memiliki tabungan juga merupakan nasabah dari ACB. Bahkan kantor tempat saya bekerja pun menggunakan ACB sebagai rekening payroll. ACB sukses besar dan nama Constantine King pun menjadi besar, meskipun pada akhirnya ia mengundurkan diri dan membuat bank barunya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, “mengejar dan menunggang kuda” dapat kita aplikasikan dengan mencari mentor. Cari sosok yang sudah lebih sukses di bidang yang kita geluti, kemudian jalin pertemanan dan belajar banyak dari orang itu.

Bagaimana agar bisa dikenal oleh sosok mentor itu sehingga bisa menjalin pertemanan?

  • Bergabung dalam sebuah komunitas. Di sana kita akan bertemu dengan sosok yang lebih senior atau yang sudah sukses terlebih dahulu, kemudian ambil perhatiannya (dengan cara yang baik dan pantas, tentunya). Orang sukses biasanya akan lebih terbuka dengan orang baru yang ia kenal dalam komunitas yang sama.
  • Ikut sebuah pelatihan, lalu ambil perhatian sang trainer. Misal, seusai pelatihan, hampiri ia di depan dan berikan beberapa pertanyaan bagus, lalu minta alamat e-mail untuk berkorespondensi. Jika pertanyaan kita bagus, biasanya trainer akan lebih mudah mengingat kita. Bagaimana cara menghasilkan pertanyaan yang bagus? Simak ajarannya dengan penuh perhatian. Jika Anda benar-benar menyimak ajarannya, pasti akan muncul beberapa pertanyaan yang berkualitas.
  • Cara ini agak munafik dan tidak saya rekomendasikan, tetapi works, yaitu aktif di sebuah tempat ibadah dan berkenalan dengan bos di sana. Orang-orang juga biasanya lebih terbuka dengan orang yang berada satu komunitas agama dengannya. Cara ini juga dilakukan oleh Constantine King. Konon ketika Constantine King sedang mengalami kesulitan bisnis, ia mendengar bahwa Kwan Im Tang (Kelenteng Kwan Im) di Mangga Besar sering didatangi oleh para bos yang sedang beribadah. Constantine sebenarnya adalah seorang non-Konghucu dan non-Buddhis, tetapi ia tetap pergi ke kelenteng itu dan beribadah selayaknya umat. Dari sana, Constantine berhasil berkenalan dengan beberapa bos yang memberinya beberapa proyek. Tapi sekali lagi, saya tidak merekomendasikan cara ini karena munafik.

Menurut saya, cara yang paling mudah dan smooth adalah dengan bergabung di sebuah komunitas terkait bidang yang sedang Anda geluti.

2. “Lie Yi Lian Dje (Ramah, Baik, Jujur, dan Tahu Malu)”

Dikisahkan bahwa Constantine hendak merantau, ayahnya memberikan sebuah pesan yang berbunyi “Lie Yi Lian Dje” yang artinya ramah, baik, jujur, dan tahu malu. Pesan ini diingat baik oleh Constantine, walaupun tidak ia praktikkan dalam bisnisnya. Menariknya, Budi Firdaus – protagonis lainnya di buku ini – yang mempraktikkan prinsip tersebut. Budi Firdaus selalu bersikap ramah kepada siapapun yang ia temui, sehingga orang-orang juga senang kepadanya dan dari sanalah relasi bisnisnya berkembang. Selain itu, Budi Firdaus juga baik terhadap karyawan-karyawannya sendiri, sehingga karyawannya juga menjadi sangat menghormati Budi Firdaus. Ia juga jujur dan tahu malu. Budi Firdaus tidak pernah menipu orang lain dan akibatnya, banyak bos besar yang menjadi percaya kepadanya dan semakin membantu Budi untuk mengembangkan bisnis.

Sebenarnya Constantine ada mempraktikkan salah satu dari prinsip ini, yakni “baik”, meskipun tidak tulus. Constantine sering melakukan “menebar jasa”, yakni memberi bantuan kepada pengusaha-pengusaha lain yang sedang berada dalam kesusahan. Dengan menebar jasa ini, orang akan merasa berhutang budi dan kelak ketika Constantine membutuhkan bantuan dari orang itu, mereka akan sungkan untuk menolak karena sudah merasa berhutang budi.

Oh iya, mungkin di titik ini Anda mulai sadar, dua protagonis di buku ini mewakili dua sisi yang berbeda: Constantine King dari sisi gelap, sedangkan Budi Firdaus dari sisi terang. Nanti di buku kedua dan ketiga perbedaan gelap-terang ini akan semakin kontras.

3. Tidak ada Bos Besar yang Ongkang-Ongkang Kaki

Saya tidak tahu juga mengapa banyak orang berpikir bahwa menjadi konglomerat atau bos besar itu kerjaannya hanya “ongkang-ongkang kaki” dan uang akan terus mengalir. Jika kita membaca buku ini, kita akan tahu bahwa mereka yang sudah sukses sekalipun masih bekerja. Constantine King misalnya, ketika usahanya sudah menjadi sangat besar, ia justru semakin rajin bekerja karena pesaingnya menjadi semakin banyak. Memang, pekerjaannya sudah lebih strategis seperti menyusun visi perusahaan, memantau para direksi, dan melakukan negosiasi dengan bos lain; tetapi ini membuktikan bahwa orang sukses itu bukan orang yang pemalas, melainkan orang yang senantiasa berpikir dan bekerja.

Pemikiran bahwa menjadi orang kaya itu hanya “ongkang-ongkang kaki” itu sebenarnya menyesatkan. Pertama, memang bukan seperti itu prinsip hidup orang besar. Kedua, dengan berpikir ingin hidup dengan “ongkang-ongkang kaki”, kita dapat menjadi mudah tertipu berbagai tawaran bisnis atau investasi yang menyesatkan dan merugikan. Iming-iming kaya dengan mudah membuat kita gelap mata (dan gelap hati), padahal para bos besar justru mendapatkan kekayaannya dengan kerja keras. Contoh termudah: mari kita lihat para korban investasi bodong, sebagian besar termakan dengan iming-iming menjadi kaya dengan ongkang-ongkang kaki saja.

Sebelum tulisan ini saya akhiri, izinkan saya meringkas kembali ketiga pembelajaran dari buku Taipan 1 ini, yaitu:

  1. Mengejar dan menunggang kuda: kita perlu berkenalan dan belajar dari seseorang yang sudah lebih sukses dari kita.
  2. Lie Li Yan Dje: bersikap ramah, berbuat baik, senantiasa jujur dan tahu malu. Dengan demikian orang akan lebih mudah percaya dengan kita.
  3. Tidak ada orang kaya yang hanya ongkang-ongkang kaki, bahkan ketika ia sudah sukses sekalipun: semua butuh proses dan usaha. Kesuksesan adalah milik orang yang mau menjalaninya, bukan milik orang malas.

Terakhir, seperti yang saya tuliskan tadi, karena ini adalah novel sejarah, maka kisah-kisah di dalam buku ini sudah diberi bumbu drama agar terasa emosional untuk dibaca. Buku ini sarat akan sejarah, mulai dari sejarah Indonesia pada masa penjajahan Belanda dan Jepang (beberapa konglomerat besar Indonesia lahir sebelum Indonesia merdeka), sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, hingga pada buku ketiga berlatar tahun 1990an akhir di zaman reformasi. Setiap selesai membaca beberapa bab, saya selalu Googling, melakukan validasi dari isi novel ini. Banyak informasi sejarah menarik yang selama ini jarang diceritakan! Misalnya, saya menjadi tahu ada pasukan pertahanan diri para Tionghoa Indonesia pada awal masa kemerdekaan Indoensia yang disebut sebagai “Pao An Tui”, lalu kejadian “Gunting Syafrudin” yang membuat sebagian besar rakyat Indonesia kehilangan 90% hartanya, hingga fakta ‘kelam’ tentang alm. Presiden B.J. Habibie yang selama ini kita kagumi. Membaca novel ini bukan sekadar membaca cerita tentang para bos besar saja, tetapi juga membaca bagaimana perkembangan sejarah ekonomi, sosial, dan politik Indonesia dari zaman pra-kemerdekaan hingga reformasi.

Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat. Dan jika tulisan ini ternyata disambut dengan antusias, saya akan melanjutkan menulis pembelajaran untuk buku Taipan 2 dan 3. Tapi bila tidak, ya tidak apa-apa, saya akan menulis ringkasan buku lain.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *