Ketidakberdayaan yang Dipelajari (Learned Helplessness) dan Cara Mengatasinya

Martin Seligman – saat itu masih mahasiswa doktoral di University of Pennsylvania pada tahun 1967, kemudian menjadi presiden American Psychological Association pada tahun 1998 dan mendirikan Psikologi Positif pada tahun 2000 – terinspirasi oleh eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov pada anjing, hendak meneliti tentang perasaan tidak berdaya dan mengujicobakannya pada anjing.

Pertama-tama seekor anjing dimasukkan ke dalam sebuah kotak, yang kemudian kotak tersebut akan dialiri oleh aliran listrik yang mengejutkan sang anjing. Jika anjing tersebut berhasil menekan tombol yang berada di dalam kotak, maka aliran listrik akan terhenti dan anjing tersebut selamat. Percobaan ini dilakukan pada beberapa ekor anjing.

Kemudian pada kelompok anjing yang berbeda, mereka dimasukkan ke dalam sebuah kotak dan dialiri oleh aliran listrik. Bedanya, kali ini tidak ada cara untuk menghentikan aliran listrik, sekalipun anjing tersebut sudah menekan tombol di dalam kotak. Anjing di dalam percobaan kedua ini terkejut dan terus-menerus mencari cara untuk menghentikan aliran listrik tersebut, tetapi mereka tidak pernah berhasil melakukannya. Aliran listrik hanya akan berhenti jika ada anjing lain yang menekan tombol tersebut.
Maka sekarang Seligman sudah memiliki dua kelompok anjing, yang pertama adalah anjing-anjing yang belajar bahwa mereka bisa menghentikan aliran listrik dengan menekan tombol, sedangkan kelompok yang kedua adalah anjing-anjing yang belajar bahwa mereka tidak bisa menghentikan aliran listrik tersebut.

Kemudian masing-masing anjing dari kedua kelompok itu dimasukkan ke dalam kotak kembali. Bedanya, kotak yang kali ini tidak terdapat tombol di dalamnya, tetapi anjing bisa melompat keluar dari kotak jika ingin menyelamatkan diri dari setruman listrik. Anjing dari kelompok pertama dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Begitu aliran listrik dinyalakan, sang anjing berusaha mencari tombol tetapi tidak menemukannya. Tapi anjing tersebut tidak pasrah. Dia melihat bahwa ia bisa melompat keluar dari kotak tersebut, dan dia melakukannya. Anjing tersebut pun selamat. Kemudian anjing dari kelompok kedua kini dimasukkan ke dalam kotak yang sama. Begitu aliran listrik dinyalakan, anjing tersebut bukannya berusaha mencari cara untuk menyelamatkan listrik, tetapi dia hanya duduk diam dan pasrah. Dia membiarkan dirinya disetrum oleh aliran listrik, sekalipun dia bisa melihat bahwa dia bisa melompat keluar dari kotak tersebut.

Dari eksperimen ini Seligman mengamati bahwa ada sebuah mekanisme yang disebut dengan “learned helplessness” (ketidakberdayaan yang dipelajari), sebuah kondisi mental di mana seseorang kehilangan kemauan dan kemampuan untuk menghindar dari situasi sulit karena perasaan tidak berdaya. Menurut Seligman, sebagian besar masalah psikologis seperti depresi muncul karena seseorang sudah merasa kehilangan daya untuk keluar dari situasi sulit, sehingga dia kehilangan kemauan untuk mengatasi masalahnya dan memilih untuk membiarkan dirinya hancur dalam kesulitan itu.

Ketika learned helplessness sudah muncul dalam sistem mental kita, maka sebesar apapun sumber daya yang kita miliki (pengetahuan, keterampilan, dukungan sosial, dll.), kita tetap akan merasa tidak berdaya untuk menghadapi sebuah masalah. Akan ada 1001 alasan untuk mengatakan bahwa diri tidak berdaya, dan akan ada 1001 alasan untuk tidak melakukan apa-apa sekalipun ia tahu itu akan berakibat buruk pada hidupnya.

Learned helplessness umumnya muncul karena seseorang mengalami kejadian buruk yang berada di luar kendalinya secara terus-menerus. Setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda-beda, tetapi beberapa skenario yang mungkin memunculkan learned helplessness:

  • Ketika seorang anak selalu diajarkan untuk melihat kesalahan dan kekurangannya, maka anak akan berpikir bahwa dia akan selalu salah betapapun dia sudah berusaha. Maka tidak heran anak ini belajar untuk tidak berdaya (learn to be helpless). Orang dewasa mungkin berpikir ini adalah metode untuk menguatkan mental anak, tetapi ternyata tidak demikian.
  • Ketika orangtua atau pendidik memberikan feedback dengan kalimat yang hanya menunjukkan kesalahan tanpa memberikan solusi. Misalnya ketika anak menjatuhkan sebuah gelas hingga pecah. Penggunaan kalimat “kamu jangan pecahin gelas dong!” tidak akan membuat anak memperbaiki perilakunya, justru dia akan belajar bahwa dia selalu salah. Kalimat, “lain kali pegang gelasnya pakai dua tangan ya supaya tidak jatuh” akan lebih baik, karena mengajarkan anak bagaimana cara untuk terhindar dari kesalahan ini di kesempatan lain.
  • Ketika, pada orang dewasa, dia mengalami kegagalan beberapa kali sehingga ia memunculkan persepsi bahwa apapun yang dilakukan akan selalu gagal. Di sinilah masyarakat harus berperan untuk memunculkan suasana, “it’s okay to be not okay”. Bukan karena dirinya yang bodoh, tapi kegagalan itu hal yang manusiawi terjadi pada setiap orang.

Lebih spesifik lagi, ada tiga cara berpikir yang mendukung terbentuknya learned helplessness, yang harus kita hindari:

  1. Berpikir bahwa masalah adalah sesuatu yang permanen. Karena pada kenyataannya, dalam sebuah masalah pasti ada sebuah solusi.
  2. Berpikir bahwa satu masalah akan menyebar dan menghancurkan segalanya. Biasanya ini terjadi karena pada masa kanak-kanak, orang dewasa berespon secara berlebihan terhadap kesalahan kecil yang dilakukan anak. Misalnya, karena memecahkan sebuah gelas, anak dimarahi berlebihan dan dihukum hingga ke hal lain, seperti uang jajannya dikurangi atau tidak diizinkan pergi bermain selama beberapa hari.
  3. Berpikir bahwa diri sendiri adalah sumber dari masalah. Biasanya ini terjadi karena individu terbiasa mendapatkan umpan balik yang bersifat personal, seperti “Kamu selalu salah!” Oh iya, yang salah adalah perilakunya, bukan orangnya. Jika perilakunya bisa dikoreksi, maka dia akan tahu cara untuk tidak salah lagi; tetapi jika yang disalahkan adalah orangnya, maka dia akan belajar bahwa apapun yang dia lakukan akan salah.

Maka kita juga perlu belajar untuk mengoreksi diri, kita perlu menghindari koreksi yang bersifat personal, misal:

  • Daripada mengatakan “saya orang yang bodoh sehingga tidak akan bisa belajar hal baru”, lebih baik mengatakan “cara belajar saya salah sehingga saya sulit mempelajari hal baru, saya harus mencari tahu cara belajar yang lebih efektif”. Yang salah adalah cara belajarnya, bukan individunya.
  • Daripada mengatakan “apapun yang saya lakukan selalu salah”, lebih baik mengatakan “bagian mana yang sering keliru dari pekerjaan saya? Ini harus saya perbaiki di kesempatan selanjutnya”. Yang salah adalah cara mengerjakannya, bukan individunya.

Ya kira-kira begitu dulu deh. Pemanasan menulis dulu setelah selama 3 minggu tidak membuat tulisan baru tentang psikologi. Semoga bermanfaat.

Referensi:

  • Seligman, M.E.P. (1972). Learned helplessness. Annual Review of Medicine, 23(1), h.407–412.
  • Seligman, M.E.P. (1998). Learned Optimism. Pocket Books.

(tulisan ini pertama kali dibagikan di akun media sosial saya dan mendapatkan 1500 share dalam 1 minggu)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *