Punya anak atau tidak punya anak?
Topik ini sedang menjadi perdebatan yang seru, masing-masing kukuh bahwa pilihan mereka adalah yang terbaik. Bagi golongan pro punya anak, punya anak akan memberikan kebermaknaan karena bisa merasa menjadi orangtua (hidup lebih lengkap) dan ada rasa aman bahwa di hari tua nanti ada yang merawat. Bagi golongan kontra punya anak (childfree), mempunyai anak tanpa mempertimbangkan kondisi finansial adalah hal yang egois, dan juga mempunyai anak tidak menjamin kebahagiaan maupun keamanan di hari tua, karena anak memiliki kehendak bebas untuk menjalani hidupnya nanti.
Mari kita bedah kedua pandangan ini secara psikologis.
Kita mulai dari riset Deaton & Stone dari Princeton University pada tahun 2014. Riset mereka menemukan bahwa pasangan yang memiliki anak atau tidak memiliki anak sebenarnya memiliki tingkat kepuasan hidup yang kurang lebih setara. Adalah benar bahwa pasangan yang memiliki anak memiliki emosi positif yang lebih tinggi daripada yang tidak, tetapi mereka juga sekaligus lebih banyak merasakan stres dan kecemasan daripada yang tidak memiliki anak.
Memiliki anak akan memberikan pengalaman baru dalam hidup yang membuat pasangan merasakan kebermaknaan, tetapi dengan kehadiran anak, muncul juga tugas-tugas dan tanggung jawab baru sebagai orangtua. Hal ini yang akhirnya membuat pasangan yang memiliki anak lebih banyak merasakan emosi positif sekaligus emosi negatif. Peneliti sendiri mengumpamakan bahwa kebahagiaan para orangtua ibarat roller coaster: memang lebih tinggi, tetapi lebih banyak naik-turun. Hal ini berbeda dengan pasangan yang tidak memiliki anak (childfree). Mereka memang tidak mengalami emosi positif sebanyak pasangan yang memiliki anak, tetapi mereka juga tidak mengalami kecemasan dan stres dari pasangan yang memiliki anak; dengan demikian kebahagiaan mereka lebih stabil.
Tiba-tiba saya teringat dengan sebuah riset yang pernah saya baca dulu sekali, yang mengumpamakan bahwa kebahagiaan orangtua itu seperti huruf U: ketika anak baru lahir, mereka mengalami peningkatan kebahagiaan yang signifikan, tetapi tingkat kebahagiaan itu akan terus menurun seiring dengan bertambahnya usia anak (karena menjadi orangtua itu banyak tuntutan dan tanggung jawab). Tetapi ketika anak sudah dewasa dan mandiri, tingkat kebahagiaan orangtua akan kembali menanjak naik. Tapi jujur saja saya lupa riset ini dilakukan oleh siapa, sehingga sudah sulit saya cari lagi referensinya.
Oh iya, kita kembali lagi ke pembahasan sebelumnya. Jika orangtua lebih bahagia juga sekaligus lebih merasakan cemas dan stres, apa sih hal yang membuat mereka lebih cemas dan stres? Riset yang dilakukan oleh Glass, Simon, dan Andersson pada tahun 2016 menyatakan bahwa sumber stres orangtua adalah:
- tuntutan waktu,
- tuntutan energi,
- kurangnya waktu tidur,
- terganggunya work-life balance (terutama ibu yang bekerja), dan
- tuntutan finansial.
Sehingga dikatakan bahwa, jika ingin bahagia dengan memiliki anak, maka kelima hal tersebut harus bisa diatasi terlebih dahulu. Jika pasangan sudah siap untuk membagi waktu, energi, finansial, dan perhatian mereka jika anak sudah hadir, maka hal tersebut akan memberi kebahagiaan.
Jadi kebahagiaan tidak serta-merta muncul ketika memiliki anak; harus diimbangi dengan faktor-faktor di atas tadi, yakni mampu menyeimbangkan waktu, membagi energi untuk mengasuh anak, dan memiliki sokongan finansial yang cukup. Lalu, riset dari Becker, Kirchmaier, dan Trautmann (2019) juga menemukan bahwa pasangan yang memiliki anak akan lebih bahagia dari pasangan childfree ketika sang anak sudah dewasa dan keluar dari rumah, alias sudah mapan. Mungkin ini berkaitan dengan rasa puas dan kebermaknaan yang muncul karena mampu membesarkan seseorang dari tidak berdaya (bayi) menjadi mandiri.
Nah, sekarang mana yang lebih baik: lebih bahagia tetapi juga lebih banyak tuntutan sehingga naik-turun, atau tingkat bahagianya sedikit lebih rendah tetapi stabil? Tidak ada yang lebih baik, itu pilihan masing-masing.
Rasanya menyatakan baik itu “memiliki anak” atau “tidak memiliki anak” sebagai keputusan terbaik adalah sebuah pernyataan yang keliru, setidaknya saya memiliki tiga argumen untuk hal ini:
Pertama, kebahagiaan memiliki anak itu ternyata sangat terikat oleh budaya. Riset dari Glass, Simon, dan Andersson (2016) yang membandingkan tingkat kebahagiaan pasangan memiliki anak dan pasangan tidak memiliki anak dari 22 negara memunculkan hasil yang beragam. Misalnya, pasangan-pasangan yang tidak memiliki anak di Amerika Serikat, Australia, dan Inggris Raya cenderung lebih bahagia daripada yang memiliki anak; tetapi temuan ini berbeda di negara Norwegia dan Hungaria, di mana pasangan yang memiliki anak justru lebih bahagia daripada yang tidak memiliki anak.
Apa yang membuat hasil bisa berbeda antar negara? Ternyata yang membedakan adalah aturan yang berlaku di negara tersebut. Memiliki anak lebih bahagia daripada tidak memiliki anak di Norwegia, hal ini karena pasangan yang baru saja memiliki anak mendapatkan durasi cuti yang lebih panjang, kemudian juga ada subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan anak, pun biasanya ada pemberlakuan jadwal kerja yang lebih fleksibel bagi pekerja yang memiliki anak. Aturan ini membuat orangtua menjadi lebih bahagia dibandingkan negara-negara lain.
Bagaimana dengan Indonesia? Ternyata riset tersebut tidak melibatkan partisipan dari Indonesia sehingga tidak ada temuannya.
Kedua, riset dari Deaton & Stone sudah menunjukkan bahwa tingkat kebahagiaan memiliki anak maupun tidak memiliki anak itu relatif setara. Bedanya, kebahagiaan memiliki anak lebih seperti roller coaster sedangkan kebahagiaan tidak memiliki anak lebih stabil. Mana yang lebih baik? Itu subjektif penilaian Anda.
Ketiga, sumber kebahagiaan terbesar manusia bukanlah dari anak. Psikologi Positif merumuskan bahwa kebahagiaan seseorang dapat diprediksi dari lima faktor: (1) emosi positif, (2) kemampuan untuk menikmati aktivitas sehari-hari (engagement), (3) hubungan sosial yang bermakna, (4) kebermaknaan hidup, dan (5) rasa pencapaian atau kemajuan dalam hidup. Di antara kelima faktor tersebut, berbagai hasil penelitian sudah menemukan kesepakatan bahwa sumber terbesar bagi kebahagiaan manusia adalah hubungan sosial yang bermakna. Memang, memiliki anak juga akan menambahkan kualitas hubungan sosial manusia; tetapi pasangan childfree juga bisa memerolehnya melalui relasi sosial dengan manusia lain.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, saya pikir baik keputusan untuk memiliki anak maupun tidak memiliki anak (childfree) tidak ada yang lebih baik, karena keduanya sama-sama memiliki kesenangan dan kesusahannya masing-masing. Dari sini setidaknya kita bisa mengambil sikap; mereka yang memiliki anak tidak bisa serta-merta menghakimi mereka yang childfree akan lebih menderita; dan demikian juga mereka yang childfree tidak dapat menghakimi mereka yang memiliki anak akan lebih menderita. Karena faktanya: kurang lebih tingkat kebahagiaannya kebahagiaannya setara!
Mungkin kembali ke sebuah simpulan yang klise: kita, terutama orang Indonesia, perlu lebih belajar untuk menghargai keputusan hidup orang lain. Hanya karena keputusannya berbeda dengan keputusan kita, bukan berarti kita berhak menghakiminya atau merasa lebih baik dari dirinya. Perbedaan pendapat bukan berarti salah satu benar dan salah satu salah, perbedaan pendapat juga bisa berarti kedua-duanya benar atau kedua-duanya salah.
Namun ada satu teman menjawab, “Tapi di agama saya, punya anak itu wajib hukumnya!” Jika demikian, maka benar bahwa memiliki anak adalah pilihan terbaikā¦ bagi penganut agama tersebut. Memiliki anak adalah pilihan terbaik sebab membuat mereka dapat menyempurnakan ibadah mereka. Dan non-penganut agama tersebut, terutama yang pro childfree, harus bisa menghargainya bahwa itu memang pilihan terbaik bagi mereka; minimal dengan tidak mengomentari keyakinan mereka.
Lalu, jika ditanya, saya ingin memiliki anak atau tidak? Sulit dijawab, karena keputusan untuk memiliki anak atau tidak bukanlah keputusan yang bisa diambil sendirian, melainkan harus diambil bersama pasangan.
Demikian hasil ngopi dan bengong saya pada sore hari ini. Semoga ada faedahnya.
[Jakarta, 24 Agustus 2021]