Dari Buku Blink, Saya Belajar Tentang Psikologi di Balik Intuisi

Belakangan ini saya baru saja selesai membaca sebuah buku yang sudah lama ingin saya selesaikan. Buku ini berjudul “Blink”, ditulis oleh Malcolm Gladwell dan terbit pada tahun 2005. Meski sudah “berusia” 16 tahun, buku ini adalah buku yang masih sering direkomendasikan oleh banyak pembelajar psikologi. Oleh sebab itulah saya masih tetap berusaha menuntaskan membaca buku ini.

Malcolm Gladwell menulis bukunya dengan gayanya yang seperti biasa: penuh contoh dan kasus sebagai konteksi. Gaya menulisnya deskriptif sekali, mungkin karena latar belakang Gladwell yang adalah seorang jurnalis.

Adanya Sistem Berpikir Cepat yang Tidak Disadari

Gladwell mengawali buku ini dengan kisah patung Getty Kouros, di mana patung tersebut akan dibawa dan dipajang di Getty Museum di California. Para kurator menilai patung tersebut dan menilainya sebagai asli; namun seorang kepala museum bernama George Despinis mengamati patung tersebut dan dengan cepat menyatakan bahwa patung ini palsu. Belakangan, setelah melalui penelusuran lebih lanjut, patung itu ternyata benar-benar palsu.

Menariknya, Despinis mengetahui patung tersebut palsu dengan singkat segera setelah melihatnya saja.

Cerita tersebut kemudian dilanjutkan dengan kisah tentang Vic Braden, seorang pelatih tenis profesional yang dapat memprediksi seseorang akan melakukan double-fault atau tidak hanya dengan melihat orang itu melambungkan bola ke udara dan menarik mundur raketnya. Dan prediksinya seringkali akurat. Menariknya, Braden tidak dapat menjelaskan bagaimana ia dapat memprediksi hal tersebut. Ia tidak melakukan itu secara sadar.

Contoh-contoh di atas oleh Gladwell digunakan untuk menunjukkan bahwa adanya proses berpikir cepat dilakukan oleh pikiran kita tanpa kita sadari. Gladwell sendiri menggunakan istilah “thin-slicing”, sedangkan dalam kalangan akademik proses ini disebut sebagai “adaptive unconscious”: proses mental yang bekerja dengan cepat dan otomatis berdasarkan informasi yang sedikit. Kadangkala kita menyebut proses itu sebagai “intuisi”, suatu pemikiran yang terjadi dengan cepat dan muncul begitu saja tanpa kita ketahui asal-usul pemikiran tersebut.

Konsep ini sebenarnya sudah dibahas dalam berbagai buku, terutama buku “Thinking: Fast and Slow” yang ditulis oleh Daniel Kahneman dan “Nudge” dari Richard Thaler. Namun kedua buku tersebut sesungguhnya muncul setelah buku Blink diterbitkan, sehingga jika kita melihat konteks waktu saat buku ini terbit, sesungguhnya buku ini menyajikan konsep yang masih segar pada masanya.

Mengandalkan Thin-Slicing dapat Menghemat Upaya Kita

Sesungguhnya thin-slicing ini bukanlah hal yang asing bagi pikiran kita. Kita sudah sering melakukannya, terlepas dari akurat atau tidak hasil penilaian cepat kita itu. Dalam kehidupan sehari-hari, thin-slicing atau adaptive unconscious ini kita sebut sebagai “intuisi”. Namun pertanyaannya adalah, mengapa keberadaan thin-slicing itu penting untuk dibahas?

Pada dasarnya thin-slicing dapat menghemat upaya kita. Seringkali tidak memerlukan informasi yang lebih banyak untuk mengambil sebuah keputusan, bahkan sesungguhnya informasi yang sedikit saja sudah bisa membantu banyak penilaian kita.

Seorang peneliti bernama Samuel Gosling, bersama rekan penelitinya, ingin mengetahui apakah informasi yang terbatas mengenai seseorang dapat memberikan penilaian yang akurat. Gosling mengumpulkan 80 orang mahasiswa, kemudian meminta teman dekat dari setiap mahasiswa tersebut untuk mengisi angket yang mendeskripsikan kepribadian mereka. Setelah itu, Gosling mengumpulkan orang-orang yang benar-benar asing terhadap 80 orang mahasiswa yang ia kumpulkan sebelumnya. Gosling membawa orang-orang asing tersebut untuk melihat-lihat kamar seorang mahasiswa selama 15 menit, kemudian meminta orang-orang tersebut untuk menilai kepribadian sang mahasiswa penghuni kamar. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan penilaian dari teman dekat. Hasilnya, baik penilaian dari teman dekat maupun orang asing (yang melihat kamarnya selama 15 menit) memberikan hasil yang tidak jauh berbeda.

Dari penelitian di atas bisa kita peroleh simpulan bahwa tidak perlu mengenal seseorang berlama-lama untuk mengetahui deskripsi kepribadiannya. Seringkali memiliki informasi yang sangat banyak tentang suatu hal belum tentu lebih baik dari memiliki informasi yang relatif lebih sedikit. Inilah peran penting dari thin-slicing.

Namun Thin-Slicing juga bisa Berbahaya

Tetapi thin-slicing tidak selalu menguntungkan, justru bisa saja berbahaya. Warren Harding, presiden Amerika Serikat yang ke-29, seringkali disebut sebagai presiden terburuk dalam sejarah Amerika Serikat. Ia gemar bermain poker, minum hingga mabuk, dan merayu perempuan. Terlepas dari itu, sebagai pemimpin, ia peragu dan plin-plan bila berbicara mengenai kebijakan, sebuah karakter yang menyulitkannya menjadi pemimpin yang efektif. Namun mengapa ia terpilih?

Harding ditunjuk menjadi calon presiden dari Partai Republik, ketika konvensi menemui jalan buntu untuk memilih calon presiden di antara dua bakal calon yang sudah dijagokan. Konvensi kemudian berusaha mencari calon alternatif dan nama Warren Harding disebut. Alasan yang digunakan menarik: ia dianggap memiliki penampilan yang cocok sebagai calon presiden: alisnya tebal, warna rambutnya keperakan, dan bahunya tegap. Penampilan yang memberikan kesan tangguh dan karismatik.

Namun sejarah berbicara lain.

Kisah ini merupakan contoh dari sisi gelap thin-slicing. Warren Harding dicalonkan sebagai presiden melalui proses yang singkat, dan ternyata thin-slicing tidak selalu memberikan efek baik. Contoh lain adalah ketika peneliti Levinson mempelajari kasus-kasus tuntutan kepada dokter. Meski dokter-dokter tersebut dituntut karena dianggap lalai dalam menjalankan tugas, tetapi ketika dibedah kembali, alasan utama pasien-pasien itu menuntut bukanlah karena kelalaian dokter, tetapi karena dokter tersebut dianggap kurang ramah. Dokter-dokter yang kurang akurat dalam memberikan penanganan, tetapi bersikap ramah, ternyata tidak dituntut; sebaliknya dokter-dokter yang melakukan prosedur dengan benar tetapi sikapnya tidak ramahlah yang justru dituntut. Hal ini karena pasien hanya melakukan penilaian secara singkat saja.

Inilah sisi gelap dari thin-slicing.

Hanya Andalkan Intuisi seorang Pakar

Jika thin-slicing bisa membantu kita mengambil keputusan secara singkat namun juga bisa salah, lantas bagaimana kita memanfaatkan thin-slicing? Gunakanlah thin-slicing jika Anda adalah seorang pakar atau Anda memiliki pengalaman yang tinggi dalam bidang tersebut. Misalnya jika Anda adalah seorang ahli mesin, intuisi Anda dalam hal mesin dapat dipercaya; tetapi tidak dengan intuisi Anda dalam hal lain seperti kesehatan, memasak, atau mengasuh anak. Demikian juga jika Anda ingin mempercayai thin-slicing atau intuisi orang lain, percayailah intuisi dari seorang pakar atau yang sudah berpengalaman dalam hal tersebut.

Celakanya, banyak orang-orang yang bukan pakar tetapi mengandalkan intuisinya dalam mengambil keputusan.

Pembelajaran yang Saya Petik

  • Pepatah menyarankan don’t judge book by its cover, tetapi nyatanya orang-orang judge book by its cover. Banyak orang menilai kita hanya secara sekilas (thin-slicing), oleh karena itu berpenampilanlah dengan pantas agar orang tidak menilai rendah kita.
  • Dalam mengambil keputusan, kita tidak selalu membutuhkan informasi yang sangat banyak. Cukup kumpulkan informasi yang relevan dan secukupnya. Informasi yang terlalu banyak justru akan membingungkan.
  • Jika kita memang berpengalaman dalam hal itu, intuisi kita bisa dipercaya.
  • Jangan mudah percaya ucapan seseorang bukan pakar yang berdasarkan intuisinya saja.

Penutup

Kita memang tidak serasional yang kita kira, dan kita sering mengandalkan penilaian sesaat. Mari mulai untuk lebih bisa memilah pada konteks apa saja kita boleh mengandalkan intuisi kita dan tidak.

4 komentar untuk “Dari Buku Blink, Saya Belajar Tentang Psikologi di Balik Intuisi”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *