Ada banyak tradisi dalam buddhisme, yang sering saya sebut sebagai “MTV” (Mahayana, Theravada, dan Vajrayana). Bagaimana menyikapi perbedaan tradisi tersebut? Apakah ada cara untuk memilih tradisi yang paling tepat? Bagaimana untuk dapat hidup harmonis dalam perbedaan tersebut?
Pada hari Sabtu, 7 Mei 2022 saya berkesempatan menjadi moderator untuk talkshow yang berjudul “DIMENTION: Differences Create Perfect Combination” yang diselenggarakan oleh KMB Dharmayana Universitas Tarumanagara dalam rangka Perayaan Waisak 2566 B.E. / 2022 M. Adapun talkshow ini mengundang tiga anggota Sangha dari tiga tradisi, yakni:
- Bhikkhu Uttamo Mahathera dari tradisi Theravada,
- Bhiksu Nirmana Sasana / Suhu Xue Hua dari tradisi Mahayana, dan
- Khenpo Khentse Norbu Rinpoche dari tradisi Vajrayana.
Adapun beberapa poin yang bisa saya peroleh dari talkshow ini adalah:
- Bhiksu Nirmana Sasana mengumpamakan perbedaan sebagai lukisan: justru harus berbeda-beda baru terlihat indah. Bahkan sebuah lukisan minimal harus terdiri dari dua warna, yakni warna kanvas itu sendiri dan warna yang berbeda dengan kanvas agar bisa menjadi sebuah gambar. Demikianlah sebuah kemajemukan harusnya bisa menjadi harmoni yang indah.
- Bhikkhu Uttamo menggunakan perumpamaan tangan: kita memiliki tangan kanan dan kiri yang berbeda, tetapi justru saling melengkapi. Bahkan tubuh kita terdiri dari organ-organ yang berbeda. Jika diri kita sendiri saja terdiri dari perbedaan, mengapa kita menolak perbedaan di luar kita?
- Khenpo Rinpoche mengatakan bahwa sesungguhnya kita semua adalah sama, yakni sama-sama ingin bahagia. Bila ada perbedaan, perbedaan itu hanya sedikit. Rinpoche juga memberi ciri untuk mengetahui tradisi Buddhisme yang tepat, yakni:
Memiliki keyakinan terhadap Triratna (Buddha, Dharma, dan Sangha),
Memiliki keyakinan terhadap hukum sebab akibat / hukum karma, dan
Memiliki keyakinan terhadap kelahiran kembali.
- Menjawab sebuah pertanyaan dari peserta asal Xiamen terkait seseorang yang mempraktikkan dua tradisi sekaligus, Bhikkhu Uttamo mengatakan bahwa perbedaan itu hanyalah sebatas tradisi; dan buddhisme ajaran yang menyesuaikan diri dengan budaya lokal, misalnya Chinese Buddhism dan Tibetan Buddhism.
- Bhiksu Nirmana Sasana kemudian menambahkan bahwa Sang Buddha tidak pernah memberi label tradisi Theravada, Mahayana, maupun Vajrayana; manusia lah yang membuat perbedaan tersebut. Tetapi kita memang tidak mungkin menghindari perbedaan, bahkan satu sekolah maupun universitas pun memberikan pelajaran yang berbeda-beda.
- Kemudian ada pertanyaan dari seorang peserta asal Bandung yang menanyakan mengenai alasan Vajrayana menekankan totalitas murid kepada guru dan keberadaan ajaran rahasia Vajrayana. Oleh Khenpo Rinpoche, dikatakan bahwa jika ingin berhasil maka kita harus sungguh-sungguh berlatih kepada guru. Dengan syarat kita harus mendapatkan guru yang tepat, karena saat ini banyak guru yang tidak tepat, misalnya yang terlibat dalam kegiatan politik. Jika kita bisa menemukan guru yang tepat, maka kita harus 100% belajar dengan sungguh-sungguh dan kita akan mendapatkan hasilnya.
- Terkait ajaran rahasia dalam Vajrayana, Khenpo Rinpoche mengatakan bahwa dalam tingkatan tertentu, Vajrayana memberikan pengajaran terakhir yang amat mendalam yang perlu dipraktikkan secara hati-hati dan harus disertai dengan pandangan yang benar. Berdasarkan tradisi Vajrayana, ajaran ini diberikan oleh Sang Buddha sebelum wafat – sebagai khutbah terakhir – kepada Ananda, Maha Kasyapa, dan Sariputra.
- Ada seorang peserta yang menanyakan tentang aliran Buddha Maitreya. Baik Bhikkhu Uttamo dan Bhiksu Nirmana Sasana mengatakan bahwa Maitreya / Metteya masih merupakan seorang Bodhisattva, bukan seorang Buddha. Lagipula, ajaran Buddha Gotama dan Buddha Maitreya kelak adalah sama. Bhiksu Nirmana Sasana mengatakan bahwa aliran Maitreya ini mungkin berbeda dengan Maitreya yang ada dalam ajaran sutta / sutra, dan Bhikkhu Uttamo menyarankan agar kita cukup menyikapi keberadaan aliran ini dengan tenang saja, karena kita tidak perlu menyalahkan orang lain untuk merasa benar.
- Topik pembahasan menjadi semakin dalam ketika ada peserta yang menanyakan mengenai Buddha Amitabha dan Bhaisajya Guru dalam tradisi Mahayana. Bhiksu Nirmana Sasana mengatakan bahwa dalam Saddharmapundarika Sutra diceritakan ada Buddha lain sebelum Buddha Gotama / Sakyamuni. Adapun Buddha Sakyamuni mengajarkan tentang Buddha Amitabha sebagai bentuk penyesuaian khutbah dengan kualitas pendengar. Bagi orang-orang berusia lanjut yang tidak memiliki banyak waktu untuk mempelajari Buddha Dharma dari awal, sehingga Buddha memberikan pengajaran Nian Fo di mana seseorang melafalkan nama Buddha dengan konsentrasi dan pikiran yang jernih sehingga dapat terlahir di alam Sukhavati dan mendapatkan pengajaran dari Buddha Amitabha dalam kelahiran selanjutnya.
- Adapun Bhiksu Nirmana Sasana mengatakan bahwa kita tidak perlu memilih-milih ingin terlahir di tanah Buddha Amitabha atau Bhaisajya Guru, sebab pada dasarnya kita saat ini sudah terlahir di tanah Buddha, yakni Buddha Sakyamuni.
- Terakhir, seorang peserta menanyakan tentang makna mantra “Om Mani Padme Hum”. Khenpo Rinpoche menjelaskan bahwa mantra ini merupakan mantra Arya Avalokitesvara Bodhisattva yang diturunkan dari Buddha Amitabha. Adapun maksudnya adalah:
- “Om” menggambarkan trikaya, yakni (1) nirmanakaya, (2) samboghakaya, dan (3) dharmakaya.
- “Mani” adalah permata, yakni Triratna, dan bisa juga melambangkan welas asih, cinta kasih, dan Bodhicitta.
- “Padme” berarti teratai, di mana teratai yang bersih dan indah tumbuh di atas lumpur yang kotor; demikianlah pikiran, ucapan, dan perbuatan kita harus tetap bersih di manapun.
- “Hum” adalah ungkapan permohonan, dalam artian meminta agar kebajikan-kebajikan tadi diberikan kepadanya.
Demikianlah kegiatan talkshow yang dihadiri dengan sangat antusias oleh para peserta, bahkan saat durasi sesi sudah melebihi 30 menit dari waktu yang seharusnya, masih banyak pertanyaan yang masuk. Mungkin ini adalah pertanda bagi KMB Dharmayana agar kegiatan serupa dilaksanakan kembali?
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.