Tips Berwelas Diri bagi Para “Maniak Kendali”

“Sebagian besar orang zaman sekarang ini maniak kendali. Kita semua sudah lama diajari untuk mengeksploitasi tubuh kita, memaksanya bekerja keras … Kita mengeksploitasinya, memaksanya dan kita tidak memberi tubuh kita cukup istirahat.”

Kalimat di atas saya baca dari buku “Bear Meditation” yang ditulis oleh Ajahn Brahm. Kalimat tersebut seolah menjawab permasalahan yang sering saya alami, tentang kecemasan dan ketakutan terhadap ketidakpastian.

Ada dua hal yang saya renungkan dari kutipan tersebut.

Pertama-tama tentang maniak kendali. Entah mungkin karena saya adalah seorang akademisi atau faktor lain, tetapi saya memang selalu merasa bahwa segalanya harus terukur dan terprediksi. Tapi rasanya bukan hanya saya yang mengalami ini, mungkin kita semua. Kita ingin semuanya terkendali dan berjalan sesuai ekspektasi. Dan agar semuanya bisa kita kendalikan, kita mulai memaksakan berbagai hal… memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, memaksa orang lain untuk menuruti kita (dan kemudian merusak hubungan antara kita dengan orang itu), memaksa situasi untuk berjalan sesuai keinginan kita.

Masalahnya, apakah kita memang seorang pengendali?

Kenyataan bahwa tidak semua hal berada dalam kendali harus bisa kita terima. Kita terlahir sebagai manusia, bukan dewa. Kita pun terlahir di dunia, bukan di surga. Ketika ada yang terjadi di luar kendali, maka ini wajar. Tidak ada yang aneh jika kehidupan berjalan tidak selalu sesuai dengan keinginan kita. Keserakahan dan penolakan – juga pemikiran salah bahwa kita selalu bisa mengendalikan situasi – adalah penyebab utama kita sulit menerima sifat asli kehidupan ini.

Hal kedua adalah tentang ketidaksempurnaan. Mungkin ini terjadi karena kita terlahir dalam masyarakat yang selalu mengapresiasi hal baik dan mengecam hal buruk. Kita diajari untuk selalu menjadi baik: mendapatkan nilai baik di sekolah, dipuji karena berpenampilan baik di tempat umum, disukai karena dapat berucap baik di depan orang lain. Kita belajar untuk selalu mengejar hal-hal baik; hingga akhirnya kita melakukan dan mendapatkan hal buruk, kita mulai membenci diri sendiri. Beberapa kali saya mengecam dan menghukum diri sendiri karena tidak berhasil melakukan sesuatu dengan baik (dan sempurna). Pertanyaannya, apakah ada manusia yang selalu mendapatkan hal baik dalam hidupnya, dan tidak pernah mendapatkan hal buruk? Jika tidak ada, mengapa kita harus bersikap buruk terhadap diri sendiri, ketika hal buruk terjadi?

Saya teringat dengan sebuah konsep psikologi yang disebut dengan “welas diri” (self-compassion). Berwelas berarti mengharapkan redanya penderitaan. Ketika kita berwelas terhadap kucing liar yang kelaparan, kita mengambilkan makanan untuknya, berharap ia tidak menderita lagi karena kelaparan. Berwelas asih tidak harus dilakukan karena adanya alasan, bukankah kita memberi makan terhadap kucing liar tanpa memikirkan alasannya terlebih dulu?

Konsep berwelas inilah yang kemudian diarahkan kepada diri sendiri. Jika kita bisa mengharapkan penderitaan manusia atau hewan lain berkurang, maka kita juga bisa mengharapkan penderitaan diri berkurang. Ketika kita kelelahan, maka berikan diri sendiri waktu untuk istirahat, bukan memaksakan diri. Ketika kita merasa tidak nyaman, maka berikan diri sendiri kesempatan untuk mengambil jeda, bukan menyalahkan diri. Ketika hal-hal berjalan di luar rencana, maka berikan diri kesempatan untuk menerima dan mengevaluasi, bukan menilai diri tidak kompeten.

Kristin Neff, penyusun konsep “welas diri”, mengemukakan tiga komponen welas diri:

  1. Self-kindness, yakni bersikap baik dan lembut kepada diri sendiri. Memacu pertumbuhan diri bukan dengan cara memaksa dan menghukum diri. Pembelajaran dan pertumbuhan bisa dilakukan dengan cara yang baik. Ketika hal buruk terjadi, bukan kebencian yang seharusnya muncul.
  2. Common humanity, yakni menyadari bahwa semua manusia juga memiliki kekurangan dan penderitaannya masing-masing. Jika kita sedang mengalami hal buruk, maka sesungguhnya itu adalah sesuatu yang manusiawi. Tidak ada yang salah dengan diri kita. Kita menderita bukan karena pengalaman buruk itu, kita menderita karena kita menolaknya.
  3. Mindfulness, yakni menyadari gejolak emosi dan pemikiran yang muncul di dalam sistem psikologis kita. Apakah kita mulai menyalahkan diri sendiri? Apakah kita mulai merasakan benci? Apakah kita ingin marah? Tidak perlu menolak maupun menurutinya, sadari dan kemudian lepaskan. Jika kita mampu menyadari dan mengamati gejolak psikologis ini, maka batin kita akan tenang secara perlahan.

Berwelas diri mungkin awalnya sulit dilakukan, terutama bila kita memegang teguh pemikiran bahwa kita harus selalu berhasil dan mencapai sesuatu. Kita berpikir bahwa dengan selalu berhasil dan mencapai sesuatu, kita akan bahagia; tapi kenyataaannya setelah satu keinginan terpenuhi, akan muncul keinginan yang baru. Berikan diri jeda dari keinginan-keinginan untuk memiliki, biarkan diri memiliki kesempatan untuk menerima. Hal baik bisa terjadi, hal buruk pun bisa terjadi. Jika kita hanya mau menerima hal-hal baik dan menolak hal-hal buruk, maka kita hanya akan menderita. Ini tidak adil.

Maka lagi-lagi saya kembali kepada sebuah pemikiran:

“Kita menderita bukan karena pengalaman buruk itu, kita menderita karena kita menolaknya.”

NB: ini untuk dilakukan ke diri sendiri, bukan untuk orang lain.

Referensi:

  • Neff, K. (2011). Self-compassion: The proven power of being kind to yourself. William Morrow.
  • Brahm, A. (2018). Bear meditation: Meditasi menjinakkan pikiran liar. Ehipassiko Foundation.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *