New normal. Ini jalan yang ditempuh oleh Pemerintah Republik Indonesia setelah Presiden Joko Widodo mengajak kita untuk berdamai dengan Covid-19. Mari kita tidak membicarakan mau atau tidaknya virus tersebut berdamai dengan kita, karena itu berada di luar kendali manusia. Ini bukan pertama kalinya dalam sejarah bahwa umat manusia harus beradaptasi terhadap lingkungan. Jutaan tahun lalu, bentuk otak manusia tidaklah seperti sekarang ini. Bentuk otak yang berubah menunjukkan bahwa manusia sudah melalui proses adaptasi selama berabad-abad, dan manusia adalah makhluk hidup yang paling adaptif di dunia (Potts dalam Massey, 2013).
Maka, sembari menunggu vaksin ditemukan, mau tidak mau kita harus menyesuaikan pola hidup kita dengan kondisi saat ini. Kita kembali bekerja dan menjalankan perekonomian meski berada dalam bayang-bayang wabah Covid-19. New normal, istilah yang sedang panas dibicarakan belakangan ini meski belum ada kesepakatan dalam mendefinisikannya. Secara tidak langsung, new normal berarti beradaptasi. Kini kita harus menjaga jarak sosial, menggunakan masker atau pelindung wajah, menghindari keluar rumah tanpa kepentingan yang jelas, dan lebih banyak memanfaatkan teknologi untuk menggantikan hal-hal yang selama ini kita lakukan secara konvensional. Dalam proses adaptasi ini, akan muncul berbagai konflik, baik secara internal maupun eksternal. Hal ini wajar karena kita harus keluar dari kebiasaan lama dan menggunakan kebiasaan baru. Pertanyaannya, bagaimana psikologi berperan terhadap new normal ini?
Saya merumuskan tiga hal sekaligus tiga teknik psikologi yang bisa kita gunakan selama melewati masa new normal ini, tiga hal tersebut adalah:
(1) Penanganan Awal terhadap Emosi Negatif
Kita tidak bisa menghindari virus karena ia ada di mana-mana; di dalam transportasi umum tempat kita akan berpindah lokasi nanti, di dalam keramaian, di kantor sekalipun tidak ramai, bahkan di lingkungan rumah anda sendiri. Maka, pelindung terbaik kita selama masa new normal ini adalah sistem imun atau daya tahan tubuh kita.
Namun sistem imun memiliki musuh dari dalam diri kita sendiri: stres dan cemas berlebih. Terlebih kini kita harus bekerja dan beraktivitas padat meskipun vaksin belum ditemukan. Stres dan cemas akan mudah membayangi, dan ketika emosi negatif muncul secara intens, tubuh kita akan terbanjiri oleh hormon kortisol yang akan melemahkan sistem imun kita. Maka, kesehatan mental dan kemampuan untuk mengelola emosi negatif menjadi bekal yang sangat penting dalam masa new normal ini.
Pertanyaannya, bagaimana mengelola emosi negatif agar tidak berlanjut menjadi intens?
Ivan Pavlov menemukan bahwa dua hal yang tidak berhubungan jika dimunculkan secara sekuensial terus-menerus, akan dianggap menjadi dua hal yang berhubungan oleh otak kita. Konsep ini disebut sebagai pengondisian klasik. Oleh praktisi neuro-linguistic programming, konsep ini diadaptasi menjadi sebuah teknik yang disebut “anchoring” atau penjangkaran. Kini mari kita memanfaatkan pengondisian klasik dan anchoring ini untuk membantu kita menangani emosi negatif secara cepat.
- Pertama-tama, anda perlu mengingat pengalaman terakhir anda merasakan damai. Ingat baik-baik pengalaman ini.
- Kedua, tentukan gerak tubuh tertentu yang akan kita jadikan sebagai “anchor” atau jangkar. Gerak tubuh ini bisa berupa gerakan halus saja, seperti mempertemukan ibu jari dengan jari telunjuk, mengusap telapak tangan, menepuk pundak sendiri, atau sebagainya. Intinya gerak tubuh yang akan dijadikan jangkar ini harus unik, bukan suatu gerakan yang sering kita lakukan setiap hari.
- Jika sudah, selanjutnya anda bisa mencari posisi duduk yang baik dan nyaman. Munculkan pengalaman damai yang sudah anda siapkan pada langkah pertama. Gunakan imajinasi dari berbagai panca indra anda selengkap mungkin. Misalnya, jika pengalaman damai anda ketika berada di pantai, maka munculkan gambaran pantai yang tenang itu. Bagaimana dengan suara ombak dan burung yang saling bersahutan? Bagaimana dengan aromanya, apakah anda mencium aroma laut? Apakah anda merasakan tekstur pasir di telapak kaki anda? Hadirkan pengalaman damai itu ke dalam indra-indra anda secara imajiner. Hal ini akan lebih muda dilakukan sambil memejamkan mata.
- Biasanya perasaan damai itu akan muncul seiring dengan anda “menghadirkan” gambaran indra-indra tersebut ke dalam proses mental anda. Anda bisa menikmati rasa damai tersebut untuk beberapa saat.
- Selanjutnya, sambil menikmati pengalaman damai tersebut, anda bisa menghadirkan gerak tubuh yang sudah anda tentukan tadi. Anda bisa mengulang gerak tubuh tersebut beberapa kali hingga anda rasa gerak tubuh tersebut dapat membantu memunculkan suasana damai tersebut nantinya.
- Jika benar, anda bisa kembali membuka mata dan bersikap biasa. Kini coba munculkan gerak tubuh tadi, apakah anda bisa mengakses pengalaman damai itu kembali?
Jika anda mempraktikannya dengan benar, maka kini gerak tubuh tadi akan menjadi jangkar untuk membantu anda mengakses pengalaman damai dengan lebih cepat. Setiap anda mulai merasakan emosi negatif, seperti marah atau kecewa, anda bisa membantu meredakannya dengan melakukan gerak tubuh tersebut. Ini akan mempermudah anda mengakses pengalaman damai tersebut sehingga emosi negatif yang mulai muncul dapat dinetralisir dengan kenangan pengalaman damai yang sudah anda miliki sebelumnya.
Kini anda sudah memiliki pertolongan pertama untuk menghadapi emosi negatif dalam hidup anda!
NB: jika anda mulai rutin mengalami emosi negatif yang intens dan mengganggu aktivitas anda sehari-hari, maka anda membutuhkan jasa layanan psikologis profesional.
(2) Membentuk Kebiasaan Baru yang Lebih Adaptif
Dengan munculnya wabah Covid-19, kini anda tidak bisa lagi menyentuh area wajah anda dengan bebas. Bagi orang-orang yang memang tidak terbiasa menyentuh wajahnya, hal ini mungkin bukan masalah besar; tetapi bagaimana dengan orang-orang yang selama ini sering menyentuh area wajahnya?
Kebiasaan atau habit bekerja dalam pola [pemicu] > [perilaku] > [konsekuensi]. Jika kita dapat mengetahui pemicu dan konsekuensi dari sebuah perilaku, maka kita bisa mengubah kebiasaan kita dengan lebih mudah (Duhigg, 2012).
Mari kita gunakan contoh untuk lebih mudah memahami. Biasanya kita menggosok mata ketika merasakan gatal di area mata, maka pola habit loop perilaku tersebut adalah sebagai berikut:
Mata terasa gatal > menggosok mata > perasaan nyaman dan lega.
Mari sekarang kita mengganti perilaku “menggosok mata” dengan perilaku lain yang juga dapat membuat kita merasakan nyaman dan lega ketika mata terasa gatal. Apa solusi yang bisa dilakukan? Menurut saya, memejamkan mata selama beberapa detik bisa membantu mengurangi rasa gatal tersebut. Maka, mari kita ganti habit loop tersebut menjadi seperti berikut:
Mata terasa gatal > memejamkan mata selama 5 detik > perasaan nyaman dan lega.
Pertama-tama mungkin anda masih akan merasa aneh ketika mengganti perilaku menggosok mata dengan memejamkan mata, tetapi ini wajar karena perubahan akan diawali oleh resistensi terlebih dahulu. Setelah melakukannya beberapa kali, anda akan terbiasa. Di sinilah kebiasaan atau habit sudah benar-benar terbentuk.
Dengan menyiapkan alternatif perilaku seperti ini, kini ketika mata anda terasa gatal, anda sudah tahu harus berbuat apa. Refleks menggosok mata akan berkurang.
Silakan anda gunakan metode ini untuk perilaku lain yang ingin anda ubah juga selama masa new normal.
(3) Strategi untuk Lebih Mampu Menerima Kenyataan
Wabah Covid-19 membuat ruang gerak manusia menjadi sangat terbatas. Berbagai perjalanan harus dibatalkan, pertemuan sosial sebisa mungkin dihindari, bahkan transaksi perdagangan pun bergeser dari luring (offline) menjadi daring (online). Selain itu, hal yang lebih buruk mungkin saja terjadi dalam kehidupan manusia selama new normal: (1) pengangguran, (2) menurunnya pendapatan, (3) berpisah dengan orang yang dikasihi, dan sebagainya.
Tidak banyak yang bisa kita lakukan untuk mengubah kenyataan ini. Menolaknya justru semakin memperparah, kita justru akan merasa frustrasi dan putus asa. Maka, menerima kenyataan akan menjadi solusi terbaik selama menjalani kehidupan yang terbatas ini. Dalam psikologi, hal ini disebut dengan penerimaan diri.
Bagaimana cara melatih dan menumbuhkan penerimaan diri kita? Dalam Cognitive Therapy, dikenal sebuah teknik yang disebut sebagai cognitive reframing atau pembingkaian ulang kognitif. Teknik ini sangat ampuh dalam membantu pembentukan penerimaan diri melalui pemaknaan ulang terhadap sebuah kejadian. Pemikiran adalah pemikiran, bukan fakta (Foreman & Pollard, 2016). Dengan pemaknaan yang tepat, kita akan memiliki pemikiran yang tepat. Bagaimana cara mempraktikannya?
- Penolakan apa yang sedang anda alami saat ini? Nyatakan dalam kalimat aktif. Misalkan, “saya merasa bosan hanya bisa berada di rumah dan kantor saja selama berbulan-bulan, tidak bisa pergi berwisata atau berjalan-jalan”.
- Rumuskan pemaknaan anda terhadap kejadian tersebut. Dalam kasus yang saya contohkan, saya memaknai masa new normal ini sebagai sesuatu yang membosankan dan mengekang karena tidak dapat pergi ke mana-mana. Namun pemaknaan ini menimbulkan penolakan dan membuat kita tidak sejahtera.
- Temukan pemaknaan lain yang bisa memberikan makna lebih baik. Anda bisa bertanya kepada diri sendiri, “Hal baik apa yang bisa saya lakukan selama memiliki waktu lebih banyak di rumah?”. Setelah memikirkannya, saya menemukan pemaknaan lain: “Kini saya memiliki waktu lebih banyak untuk membaca buku.” Dan ini menyenangkan! Jika menurut anda pemaknaan ini tidak memuaskan, anda bisa kembali mempertanyakannya kepada diri sendiri hingga menemukan pemaknaan baru.
- Maka, ganti pemaknaan lama dengan pemaknaan baru. Masa new normal ini justru membuat saya memiliki banyak waktu untuk membaca, dan ini sama mengasyikannya seperti traveling!
Dengan memiliki makna baru yang lebih konstruktif ini, saya menjadi lebih mudah untuk menerima realita. Mungkin realita ini bukan yang paling ideal, namun realita ini tetap memberikan perkembangan dalam hidup kita.
Simpulan
Adaptasi adalah cara klasik manusia dalam mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Dalam wabah Covid-19 ini, cara adaptif yang perlu kita tempuh adalah menjalani era new normal sampai vaksin ditemukan. Kondisi mental kita amat berperan terhadap keberhasilan menempuh era new normal ini. Maka, ada tiga hal yang perlu kita miliki: (1) memiliki penanganan awal untuk emosi negatif, (2) membentuk kebiasaan baru yang lebih adaptif, dan (3) penerimaan terhadap kenyataan. Masing-masing aspek tersebut sudah saya lengkapi dengan latihan yang bisa kita praktikkan di rumah.
Selamat berlatih!
Referensi:
- Duhigg, C. (2012). The power of habit. NY: Random House.
- Foreman, C.I., & Pollard, C. (2016). Cognitive behavioral therapy. London: Icon Books.
- Massey, N. (2013, September 25). Humans may be the most adaptive species. Scientific American. Diakses pada 2020, Juni 11 dari https://www.scientificamerican.com/article/humans-may-be-most-adaptive-species/