Bagaimana Filsafat Buddhis Mengajarkan Saya tentang Hidup

Awal tahun 2021 ini begitu berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada riuh riah di pusat kota untuk menyambut tahun baru, semua diwajibkan untuk tetap berada di kawasan masing-masing dalam menyambut tahun baru. Mencegah penyebaran Covid-19 adalah alasannya.

Covid-19 menjadi isu terbesar selama tahun 2020 – dan mungkin selama 100 tahun terakhir – yang kemudian masih dibawa hingga tahun 2021. Banyak harapan dan doa agar 2021 ini bisa menjadi titik terang berakhirnya wabah penyakit yang menggemparkan dunia ini. Wabah Covid-19 memopulerkan istilah “social distancing” dan “work from home”, dua istilah yang kemudian membuyarkan begitu banyak rencana. Tidak ada kerumunan massa, tidak ada liburan penuh sukacita, tidak ada berkumpul bersama. Saya melakukan banyak adaptasi dan perubahan rencana sepanjang 2020, dan 2021. Awalnya, terdapat banyak sekali penolakan dari dalam diri; tetapi perlahan-lahan saya mulai bisa menerimanya.

Adalah Filsafat Buddhis, yang juga disebut Buddhisme, yang menjadi salah satu pegangan utama saya dalam menjalani hidup ini termasuk ketika saya harus menyesuaikan diri karena perubahan-perubahan dari Covid-19. Filsafat Buddhis membantu saya menerima realitas, lebih damai terhadap diri sendiri, sekaligus menguatkan hati saya dalam berbagai ketidakpastian. Filsafat Buddhis memang erat kaitannya dengan Agama Buddha. Singkat kata, Filsafat Buddhis merupakan Agama Buddha yang hanya diambil ajarannya dan dipinggirkan dulu ritualnya. Izinkan saya menceritakan bagaimana Filsafat Buddhis mengajarkan saya tentang kehidupan melalui tulisan ini.

Harta, Tahta, Wanita versus Tua, Sakit, Mati

Filsafat Buddhis ditemukan oleh Siddhartha Gautama, yang diberi gelar “Buddha” (yang tercerahkan). Siddhartha merupakan anak seorang raja dan kepala suku Sakya; dan praktis beliau lahir dengan tiga hal yang paling diinginkan manusia: harta, tahta, dan wanita. Crazy rich Asian. Sejak belia beliau memiliki tiga istana yang didirikan khusus untuk musim-musim di India, yakni musim semi, musim hujan, dan pancaroba. Soal tahta, jelas sekali beliau akan mewarisi tahta ayahnya yang merupakan seorang raja. Beliau juga memiliki seorang istri yang berasal dari kalangan bangsawan, yang beliau nikahi setelah berhasil mengalahkan bangsawan-bangsawan lainnya dalam sebuah kontes; sebagai bukti bahwa Siddhartha merupakan pasangan yang paling pantas untuk Bimbadewi.

Namun harta, tahta, dan wanita ternyata tidak membuat Siddhartha benar-benar bahagia. Ketika melihat tiga kejadian: (1) penuaan, (2) sakit, dan (3) kematian; Siddhartha menjadi galau. Beliau berpikir, apa guna menikmati kesenangan-kesenangan yang beliau miliki bila ketiga hal itu terus membayangi kehidupan? Bagaimana mungkin mengatakan hidup ini bahagia bila tua, sakit, dan mati itu adalah pasti? Di tengah kegalauan tersebut, beliau melihat seorang pertapa yang berjalan dengan begitu anggun. Tergugah, beliau akhirnya mengukuhkan diri untuk menjadi seorang pertapa (sebuah tradisi spiritual yang umum di tanah India pada saat itu) dan melepaskan harta-tahta-wanita.

Melalui berbagai laku tapa, setelah enam tahun lamanya, beliau akhirnya menemukan hakikat kehidupan ini. Beliau memulai pengajarannya, dan kemudian orang-orang menjulukinya Buddha atau yang tercerahkan. Ajaran beliau kemudian dinamai “Buddha Dharma” (ajaran kebenaran dari Buddha) dan menyebar luas. Berbeda dengan yang kita kenal saat ini, Buddha Dharma atau Ajaran Buddha atau Filsafat Buddhis sebenarnya sangat minim ritual. Pokok praktiknya ada tiga:

  1. Sīla atau menjaga moralitas,
  2. Samadhi atau mempraktikkan kesadaran penuh, dan
  3. Pañña (baca: pannya) atau mengembangkan kebijaksanaan.

Ketiga praktik di atas, yang kemudian dijabarkan lagi menjadi “Jalan Mulia Berunsur Delapan”, menjadi praktik utama dari Filsafat Buddhis.

Tiga Karakteristik Umum

Buddha mengajarkan bahwa kehidupan ini memiliki tiga corak yang universal:

  1. Annica yakni tidak kekal atau terus berubah,
  2. Dukkha yakni tidak memuaskan, dan
  3. Annata yakni ketiadaan inti tunggal dalam makhluk.

Annica merupakan ketidakkekalan; menggambarkan hidup ini yang senantiasa berubah. Tidak ada yang tidak berubah, bahkan Anda pada menit ini sudah berbeda dengan menit sebelumnya – ada proses penuaan yang terjadi begitu halus sehingga tidak kita sadari. Tidak ada yang tetap dan kekal di kehidupan ini; sehingga, menurut Buddha, melekati dan berusaha mati-matian untuk mempertahankan sesuatu adalah tindakan yang membawa penderitaan. Anda boleh menyukai dan menyenangi sesuatu, tetapi Anda perlu tahu bahwa hal itu akan berubah dan bila saatnya tiba, Anda harus bisa menerimanya.

Dukkha bisa diterjemahkan sebagai penderitaan (duka), juga bisa dimaknai sebagai ketidakpuasan. Buddha mengajarkan bahwa Anda tidak akan bisa mendapatkan kepuasan dengan cara mengejar kesenangan-kesenangan dunia. Saat ini Anda menginginkan sepeda, namun setelah memilikinya, Anda kemudian menginginkan sepeda motor. Setelah Anda memiliki sepeda motor, keinginan Anda bertambah; Anda ingin memiliki sebuah mobil. Setelah Anda memiliki mobil, Anda kemudian menginginkan mobil mewah. Pun setelah mobil mewah Anda miliki, Anda masih tidak puas; masih ada mobil yang lebih mewah lagi, kapal pesiar, helikopter, bahkan pesawat. Ini menggambarkan bagaimana manusia tidak pernah puas dan selalu menginginkan lebih. Dan, pandangan ini juga dikonfirmasi oleh ilmu psikologi modern. Psikologi mengenal istilah hedonic treadmill, istilah yang menggambarkan bahwa mengejar kesenangan bagaikan berlari di atas treadmill; Anda terus berlari dan tidak akan pernah selesai.

Anatta merupakan konsep Buddhis yang unik dan amat mendalam. Secara etimologis, Anatta terdiri dari dua kata, yakni (1) An- yang berarti “tidak”, dan (2) Atta yang berarti “jiwa”. Anatta, secara lepas, mungkin bisa diterjemahkan sebagai “tiada inti jiwa”. Nagasena, seorang pengikut Buddha, menjelaskan konsep Anatta kepada Raja Menander melalui perumpamaan kereta perang:

“Apa yang dimaksud dengan kereta perang? Apakah itu roda, atau tuasnya, atau penahannya, atau rangka, atau joknya, atau tiang penggeraknya? Apakah ini kombinasi dari elemen-elemen itu? Atau ditemukan di luar elemen tersebut?”

Pertanyaan yang sama dapat diajukan kepada diri sendiri juga. Apa yang dimaksud dengan diri Anda? Apakah itu mata Anda, hidung, telinga, tangan, kaki, perut, atau yang lainnya? Ataukah Anda merupakan gabungan dari elemen-elemen tersebut?

Memahami bahwa yang disebut “manusia” itu sesungguhnya adalah gabungan dari berbagai unsur (bukan sebuah entitas tunggal yang solid) memberikan pemahaman luar biasa dalam kehidupan: ketika gigi Anda sakit, maka yang sakit sesungguhnya adalah elemen gigi Anda, namun mengapa Anda membiarkan pikiran dan perasaan Anda ikut sakit? Atau, ketika seseorang menghina mata Anda yang terlalu sipit, sesungguhnya yang sedang disebut adalah mata Anda, namun mengapa Anda membiarkan diri Anda marah dan merasa seluruh diri Anda yang sedang dihina?

Melalui tiga corak itu, kita bisa memegang pesan penting dalam hidup: (1) dari anatta, kita tahu bahwa kita tidak bisa melekati dan berusaha untuk terus mempertahankan sesuatu, kita memerlukan sikap melepas atau letting go; (2) dari dukkha, kita tahu bahwa kebahagiaan tidak bisa dicapai dengan terus-menerus mengejar kesenangan, kita memerlukan kepuasan hati; (3) dari anatta, kita tahu bahwa kita tidak bisa menggeneralisasi sebuah kejadian spesifik, kita perlu sikap tenang seimbang atau equanimity; selain itu kita juga tahu bahwa “manusia” sesungguhnya hanyalah label dari gabungan elemen-elemen tertentu, sehingga kita tidak bisa bersikap angkuh atas identitas kita.

Empat Kebenaran Mulia

Jika Anda bisa memahami ketiga corak itu, Anda akan lebih mudah memahami “Empat Kebenaran Mulia”. Sesungguhnya ajaran pertama, sekaligus utama, dari Filsafat Buddhis adalah Empat Kebenaran Mulia, yang terdiri dari:

  1. Kebenaran mulia tentang penderitaan,
  2. Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan,
  3. Kebenaran mulia tentang akhir penderitaan,
  4. Kebenaran mulia tentang cara mengakhiri penderitaan.

Kebenaran mulia tentang penderitaan berbicara tentang kehidupan ini yang penuh lika-liku. Jika Anda sudah memahami Anicca dan Dukkha, maka memahami kebenaran ini tidaklah terlalu sulit. Hidup ini terdiri dari penderitaan, ini sebuah fakta yang tidak bisa Anda ingkari, dan penderitaaan ini tidak akan pernah bisa kita hindari. Buddha mendeskripsikan penderitaan sebagai keinginan yang tidak terkabul dan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Kebenaran mulia tentang sebab penderitaan meskipun hidup ini terdiri dari penderitaan, tetapi hidup ini bukanlah sebab dari penderitaan. Sebab dari penderitaan adalah kilesa atau kekotoran batin. Ini merupakan sebuah konsep tersendiri dalam Filsafat Buddhis yang membutuhkan penjabaran lagi, tapi mari kali ini saya sederhanakan dengan sebuah istilah tunggal: “kemelakatan”. Kita menderita karena kita melekat. Melekat di sini berarti tidak siap dengan perubahan, tidak siap melepas, dan selalu berusaha mempertahankan keadaan. Faktanya, semua yang kita miliki akan kita lepaskan pada waktunya. Jika kita tidak siap melepas dan tidak siap berubah, maka kita akan menderita. Ini sebuah fakta yang sudah saya alami sendiri.

Kebenaran mulia tentang akhir dari penderitaan merupakan aspek realistis dari Filsafat Buddhis. Setelah berbicara tentang penderitaan dan sebab penderitaan yang terdengar pesimistis, Buddha menyeimbangkannya dengan mengajarkan adanya akhir penderitaan. Apakah akhir dari penderitaan itu? Secara konsep, Buddha menyebutnya dengan “Nibbana” atau “Nirwana”, yang secara harfiah berarti “Padam”. Apa maksudnya? Bisa kita maknai sebagai padamnya segala nafsu keinginan sehingga penderitaan pun padam. Ketika Anda sudah mencapai tataran Nibbana, Anda melakukan sesuatu karena memang sudah seharusnya Anda lakukan, bukan karena nafsu keinginan lagi (konsep ini disebut dengan kiriya atau fungsional, artinya seluruh tindakan Anda sudah bersifat fungsional). Anda makan karena Anda butuh makanan untuk menjalankan metabolisme dan beraktivitas, bukan untuk memanjakan lidah atau menunjukkan status sosial Anda. Anda bekerja karena Anda butuh uang untuk membiayai kehidupan Anda, bukan untuk menimbun harta-benda dan melekatinya. Anda tidur karena Anda memang butuh istirahat, bukan untuk memanjakan rasa malas Anda. Tidak ada nafsu keinginan, semua hanya fungsional dan “memang seharusnya”. Dengan menjalani hidup sebagaimana harusnya, melalui pemadaman nafsu keinginan dan pemahaman utuh tentang kehidupan, Anda sudah mampu mengakhiri penderitaan.

Kebenaran mulia tentang cara mengakhiri penderitaan menjelaskan cara-cara untuk mencapai kondisi tersebut. Oleh Buddha, cara itu dinamai dengan Majjhima Patipada atau “Jalan Moderat”. Bisa juga disebut “Jalan Tengah” karena sifatnya yang memang moderat dan berada di tengah-tengah. Anda tidak mengikuti hawa nafsu Anda, tetapi bukan berarti Anda juga membiarkan diri Anda tersiksa. Jalani semua dengan moderat, sewajarnya, dan sebagaimana harusnya. Jalan Moderat ini dijabarkan lagi sehingga terdiri dari delapan unsur, dinamai “Jalan Mulia Berunsur Delapan”, yakni:

  1. Pengertian benar,
  2. Pandangan benar,
  3. Ucapan benar,
  4. Perbuatan benar,
  5. Penghidupan / mata pencaharian benar,
  6. Pengupayaan benar,
  7. Perhatian benar, dan
  8. Konsentrasi benar.

Kedelapan unsur di atas, jika direduksi lagi menjadi tiga praktik, akan kembali kepada sila-samadhi-panna, atau: menjaga moralitas, melaksanakan kesadaran penuh, dan mengembangkan kebijaksanaan.

Menjalani Hidup dengan Filsafat Buddhis

Pertama-tama, menjaga moralitas adalah pondasi yang wajib. Ini sudah jelas, jika Anda hidup tanpa moral, Anda akan dikerubungi oleh banyak masalah. Bagaimana mungkin Anda bisa hidup tenang dan damai jika Anda terus-menerus melawan moralitas? Menjaga moralitas bisa dipraktikkan dengan lima panduan ini:

  1. Tidak membunuh,
  2. Tidak mencuri,
  3. Tidak berhubungan seksual secara tidak pantas,
  4. Tidak berucap bohong dan kasar, dan
  5. Tidak mengonsumsi zat yang membuat Anda kehilangan kesadaran / kendali atas kesadaran Anda.

Kedua, jika Anda sudah menjaga moralitas, maka sebagian besar masalah tidak akan muncul dalam hidup Anda. Anda kini memiliki waktu untuk menjalankan kesadaran penuh. Sadari bagaimana Anda beraktivitas sehari-hari; seringkali kita membiarkan diri kita bergerak secara auto-pilot layaknya robot. Mulai sadari bagaimana langkah kaki Anda saat berjalan, bagaimana gerak rahang dan sensasi lidah Anda saat makan, bagaimana perasaan Anda ketika menghadapi kejadian-kejadian tertentu. Menariknya, sains / ilmu pengetahuan sangat tertarik dengan kesadaran penuh ini (dalam psikologi dan neurosains, konsep ini disebut sebagai “mindfulness”). Secara spesifik, Buddha juga menyarankan kita untuk melakukan praktik mindfulness melalui posisi duduk (sitting), atau di Indonesia sering disebut dengan meditasi atau semadi. Berkesadaran penuh akan membantu kita untuk lebih tenang dan lebih damai dalam menjalani kehidupan ini.

Ketiga, setelah Anda mampu menjaga moralitas dan menjalankan hidup berkesadaran penuh, maka kebijaksanaan Anda akan berkembang dengan sendirinya. Anda juga bisa secara aktif mengembangkan kebijaksanaan melalui belajar. Mempelajari hakikat kehidupan akan membantu Anda lebih memahami bagaimana Anda seharusnya bersikap dalam kondisi-kondisi tertentu. Seringkali, kita bersikap salah dalam menyikapi hidup; mungkin terlalu reaktif atau justru bersikap menghindari. Kebijaksanaan akan membantu kita memiliki sikap dan problem solving yang mendukung kebahagiaan kita.

Penutup

Ketika moralitas sudah terjaga, kesadaran penuh sudah dijalankan, dan kebijaksanaan sudah dikembangkan secara penuh; maka seluruh tindakan kita dalam kehidupan akan bersifat fungsional. Menjalani hidup secara benar dan sebagaimana harusnya. Inilah cara hidup yang memberikan kebahagiaan, dan saya pelajari ini dari Filsafat Buddhis.

Oh iya, tentu saja saya belum berhasil mempraktikannya dengan sempurna. Namun menulis ini membantu saya untuk terus mempraktikannya dalam hidup saya.

Referensi:

  • Dhammananda, B. (2002) What buddhist believe (4th ed.). Malaysia: Buddhist Missionary Society Malaysia.
  • Dhammika, S. (2005). Good questions, good answers. Singapore: Buddha Dharma Mandala Society.
  • Pesala, B. (1990). The debate of King Milinda. Delhi: Motilal Banarsidass.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *