Saya ingat sekali ketika masih duduk di bangku sekolah, saya memiliki dua orang teman. Keduanya memiliki beberapa persamaan, dan persamaan yang paling menonjol adalah mereka sama-sama siswa tipe āEā, alias siswa yang selalu mendapat nilai terburuk di kelas. Persamaan lainnya, karena nilainya sering jelek, mereka dipandang sebelah mata oleh sebagian teman di kelas. Tentu saja, mereka berdua menjadi salah satu siswa yang diingat oleh guru, tetapi karena nilainya yang selalu buruk.
Tapi manusia tidak ada yang 100% sama, di balik persamaan itu, mereka berdua memiliki perbedaan. Perbedaan inilah yang kemudian menentukan nasib mereka masing-masing di masa depan. Si A, karena sering dipandang sebelah mata, berpikir bahwa dirinya memang diciptakan dengan berbagai kekurangan. Ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil dan ia terlahir dengan IQ yang kurang. Ia juga mengatakan bahwa ia selalu gagal di berbagai hal, membuat ia semakin yakin bahwa ia memang terlahir bodoh. Sedangkan si B, ia tahu bahwa ia dipandang sebelah mata, tetapi ia yakin bahwa setiap manusia dilahirkan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Ia tidak mau terus meratapi kekurangannya. Ia berpikir bahwa boleh saja ia kurang dalam bidang akademik, tetapi ia harus mampu memaksimalkan potensinya di bidang lain. Ketika bertemu lagi dengan mereka 10 tahun kemudian, si B kini sudah menjadi seorang pedagang yang sukses dengan rumah yang besar dan mobil mewah; sedang si A kini menjalani hidup dengan kabar yang membuat prihatin.
Jika cerita di atas kita coba bedah, mengapa si A dan si B sama-sama mengalami kegagalan di sekolah tetapi bisa memiliki nasib yang jauh berbeda, 10 tahun setelah lulus?
Salah satu jawaban yang bisa saya berikan adalah karena tingkat optimisme mereka berbeda. Dalam psikologi, optimisme adalah salah satu cara berpikir yang sangat menentukan arah hidup seseorang. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa salesperson yang optimis lebih banyak menghasilkan penjualan daripada salesperson yang pesimis. Pada penelitian lain, orang-orang yang optimis akan lebih bahagia dan lebih mau berusaha dibandingkan orang-orang yang pesimis. Bahkan, orang-orang yang mengalami masalah depresi justru kehilangan optimisme dan berpikir dengan pesimis.
Martin Seligman, salah satu pelopor psikologi positif dan mantan presiden American Psychological Association, sangat menitikberatkan optimisme pada diri manusia. Optimisme inilah yang membuat seseorang sehat secara mental dan mau berjuang untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup.
Jika saya tanyakan kepada pembaca, pasti semuanya ingin memiliki hidup yang sukses dan bahagia. Pertanyaannya, apakah anda sudah memiliki sikap yang optimis? Anda bisa mengira-ngira kadar optimisme dari diri anda melalui tiga indikator ini:
- Apakah anda menganggap kejadian buruk itu permanen? Orang-orang yang berpikir bahwa kejadian buruk itu permanen dan tidak bisa diubah adalah orang-orang yang pesimis. Sebaliknya, orang-orang yang berpikir bahwa kejadian buruk dapat dicegah atau diminimalisir dengan usaha yang lebih baik adalah ciri orang yang optimis. Pada kasus si A dan si B, si A menganggap bahwa ia terlahir dengan IQ yang kurang. Ini adalah ciri orang yang berpikir bahwa keburukannya permanen, ciri orang yang pesimis. Sedangkan si B berpikir bahwa ia harus berusaha agar bisa mengubah nasibnya, ini ciri orang optimis (dimensi permanence).
- Apakah anda tahu bahwa anda memiliki kekurangan dan kelebihan pada area tertentu? Orang-orang yang pesimis cenderung berpikir bahwa keburukannya adalah universal. Dalam arti lain, kebodohan mereka itu ada pada setiap aspek. Sudah bodoh di sekolah, bodoh dalam berteman, bodoh pula dalam berdagang; lengkap sudah kebodohannya. Ini adalah ciri orang yang pesimis. Sebaliknya, orang-orang optimis bisa jadi menerima bahwa mereka buruk dalam satu aspek, tetapi tidak pada aspek yang lainnya. Kembali pada kasus si A dan si B, si B memiliki pemikiran bahwa meski kemampuan akademiknya buruk, tetapi ia harus mengoptimalkan potensinya di bidang yang lain untuk bisa sukses. Ini ciri orang optimis (dimensi pervasiveness).
- Apakah anda berpikir bahwa anda adalah sumber dari keburukan? Orang-orang yang pesimis cenderung mudah baper, mereka berpikir bahwa merekalah sumber keburukan itu sendiri. Bila ada hal-hal buruk terjadi, itu berasal dari diri mereka. Baiklah, mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak sepenuhnya benar! Hidup ini ibarat roda, naik dan turun. Kadangkala baik, kadangkala buruk. Anda perlu memahami bahwa hal baik dan hal buruk bisa muncul dari diri anda. Oleh sebab itu, bila anda terus berpikir bahwa anda adalah penyebab hal-hal buruk terjadi, maka anda adalah orang yang pesimis. Tetapi bila anda berpikir bahwa diri anda bisa menyebabkan hal-hal baik terjadi, maka anda memiliki ciri orang optimis (dimensi personalization).
Jadi, kira-kira anda memiliki pola pikir yang mana? Bila anda kini merasa anda adalah orang yang optimis, selamat! Lanjutkan dengan tindakan dan usaha yang terencana. Namun bila ternyata anda atau orang terdekat anda adalah orang yang pesimis, apa yang harus dilakukan?
Referensi:
- Seligman, M.E.P. (1991). Learned optimism: How to change your mind and your life. NY: Pocket Books.
- Seligman, M.E.P., & Schulman, P. (1986). Explanatory style as a predictor of productivity and quitting among life insurance agents. Journal of Personality and Social Psychology, 50, h.832-838.