Semua Orang juga Insecure, tapi Apakah itu Wajar?

Tahun 2021 baru saja dimulai, dan saya merefleksikan apa saja yang sudah terjadi pada tahun 2020. Tahun lalu memiliki sebuah tema besar yang menjadi pergelutan bagi saya: perasaan insecure. Ketidakjelasan kondisi dunia akibat pandemi Covid-19, ketidakjelasan masa depan, perasaan tertinggal dari yang lain, dan sebagainya. Perasaan ini cukup membuat tidak nyaman dan membuat saya kehilangan rasa percaya diri; namun belakangan saya sadar: semua orang juga mengalaminya.

Insecure atau perasaan tidak aman merupakan perasaan yang lazim muncul pada manusia. Faktanya, 13% dari warga Amerika memiliki kemungkinan untuk mengalami fobia sosial (Kessler et al., 2019) dan 99,1% responden survey yang dilakukan oleh FitRated (n.d.) masih dapat mengingat pengalaman pertama insecurity mereka. Memang data ini baru berasal dari riset di Amerika Serikat, dan saya belum bisa menyajikan data yang terjadi di Indonesia karena belum ada risetnya; tapi ada benang merah yang jelas di sini: kita semua mengalami perasaan insecure.

Berdasarkan survey dari FitRated tersebut, isu terbesar yang menyebabkan perasaan insecure pada individu adalah masalah tubuh (56,9% terjadi pada wanita dan 48,1% pada pria). Isu kedua terkuat yang menyebabkan perasaan insecure adalah masalah kepribadian atau kemampuan (25,2% wanita, 35,9% pria). Disusul oleh isu kepemilikan barang (9,8% terjadi pada wanita, 8,1% pada pria) yang menyadi penyebab terbesar ketiga. Sisanya adalah keluarga dan lain-lain.

Sampai di sini mungkin Anda akan melihat bahwa isu-isu yang sering kita alami ternyata juga muncul pada orang pada umumnya. Ini menandakan bahwa isu-isu yang kita hadapi, yang menjadi pergelutan kita dengan diri sendiri, adalah hal yang wajar. Merasa insecure merupakan bagian dari eksplorasi dan pengembangan diri. Ibarat demam yang merupakan respons dari sistem imun tubuh, perasaan insecure juga bisa dianalogikan demikian; munculnya perasaan insecure adalah sistem dari mekanisme pertahanan psikologis kita. Tanpa rasa insecure, kita akan terlena dan tidak merasa terpaksa untuk mengembangkan diri. Perasaan insecure memacu kita untuk belajar, bertindak lebih, dan menjadi lebih baik.

Ada sebuah riset menarik dari Ralf Veit dan koleganya (2002) yang dipublikasikan di Neuroscience Letters. Mereka melakukan pemindaian MRI kepada orang-orang yang menyandang gangguan kecemasan & orang-orang yang melakukan kriminal yang dinilai psikopat. Hasil pemindaian ini menarik: orang-orang dengan gangguan kecemasan memiliki aktivitas frontolimbic circuit yang berlebihan, sedangkan para psikopat memiliki aktivitas frontolimbic circuit yang nyaris tidak aktif. Riset ini menunjukkan bahwa gangguan kecemasan dan psikopat adalah dua kecenderungan yang saling berseberangan; orang-orang dengan gangguan kecemasan memiliki kecemasan yang berlebihan sedangkan psikopat nyaris tidak merasakan cemas. Ini menandakan kita, yang mengalami tingkat kecemasan moderat, dapat dianggap wajar. Perasaan insecure adalah wajar, dan jika Anda tidak mengalaminya, justru ada sesuatu yang salah.

Tetapi tentu saja, perasaan insecure yang berlebihan dan tidak terkendali akan berdampak buruk. Ini lagi-lagi bisa dianalogikan dengan demam yang dibiarkan dan akhirnya menyebabkan permasalahan yang fatal. Perasaan insecure yang tidak terkendali bisa merusak kepercayaan diri kita, bahkan bisa merusak penghargaan kita terhadap diri sendiri. Cirinya adalah munculnya gangguan kecemasan, rendah diri yang berlebihan, sampai keluhan psikologis yang lebih berat. Jika ini sudah terjadi, Anda perlu mencari psikolog untuk membantu permasalahan Anda.

Dari sini kemudian saya belajar bahwa perasan insecure bisa saya rangkul menjadi “teman” pengembangan diri saya. Perasaan takut tertinggal atau takut dinilai negatif oleh orang lain membuat saya senantiasa mempertimbangkan perilaku yang hendak saya tampilkan dan senantiasa belajar. Namun saya juga memahami batas, jika perasaan insecure itu mulai tidak wajar, maka saya akan mengabaikannya. Insecure itu wajar. Yang penting adalah, bagaimana Anda menyikapinya?

Referensi:

  • Fit Rated. (n.d.). An exploration of insecurity over time. Diakses pada 2021, 5 Januari dari https://www.fitrated.com/resources/insecurity-over-time/
  • Kessler, R.C., Petukhova, M., Sampson, N.A., Zaslavsky, A.M., & Wittchen H. (2012). Twelve-month and lifetime prevalence and lifetime morbid risk of anxiety and mood disorders in the United States. International Journal of Methods in Psychiactric Research, 21(3), h.169-184. doi:10.1002/mpr.1359.
  • Veit, R., Flor, H., Erb, M., Hermann, C., Lotze, M., Grodd, W., & Birbaumer, N. (2002). Brain circuits involved in emotional learning in antisocial
    behavior and social phobia in humans. Neuroscience Letters, 328, h.233.-236.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *