Sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis. Empat kata itu sudah menjadi sangat familiar, bahkan sering menjadi bahan pembahasan tentang karakter dan kepribadian manusia. Menariknya, dalam pendidikan psikologi sendiri konsep ini hanya disebutkan sekilas pada semester 1 dan setelah itu tidak dibahas lagi sama sekali.
Mengapa?
Alasan utamanya adalah konsep 4 temperamen tersebut sudah sangat out of date, bahkan konsep ini disebut sebagai teori proto-psychology, karena memang sudah ada sebelum ilmu psikologi ada. Kelahiran konsep ini bisa ditarik mundur ke ribuan tahun lalu, di masa Hippocrates hidup sekitar 460-370 Sebelum Masehi. Mula-mula Hippocrates menyatakan bahwa ada empat cairan yang mempengaruhi perilaku dan emosi manusia, yakni: darah (sanguine), empedu kuning (melan), empedu hitam (choler), dan lendir (phlegm). Kekurangan atau kelebihan salah satu dari keempat cairan itu akan menyebabkan permasalahan emosi maupun perilaku, misalnya, kelebihan darah (sanguine) akan membuat seseorang berperilaku terlalu aktif, dan dengan demikian kadar darahnya harus dikurangi untuk menyeimbangkannya; sedangkan kekurangan darah akan membuat seseorang kehilangan energi. Contoh lain, kelebihan lendir (phlegm) akan membuat seseorang menjadi lebih pasif, dan demikian harus dikurangi untuk menyeimbangkannya.
Mulai dapat suatu insight dari sini?
Kemudian Galen, yang hidup sekitar 129-200 Masehi, menggunakan konsep tersebut untuk menjelaskan dampak fisiologis terhadap perilaku manusia. Melalui bukunya yang berjudul “De Temperamentis”, munculah istilah sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis yang didasarkan pada keempat jenis cairan tubuh manusia ini.
Kemudian konsep ini terus digunakan, dan mungkin adalah Florence Littauer yang pada tahun 1980an mempopulerkan konsep empat temperamen ini zaman modern melalui buku “Personality Plus”.
Kembali ke pertanyaan, mengapa psikologi tidak banyak mendalami konsep ini? Karena teori dan tipologi kepribadian manusia sudah berkembang jauh melebihi konsep empat temperamen ini. Ada penggolongan extrovert-introvert yang dikonsepkan oleh Carl Gustav Jung, yang kemudian menginspirasi Isabel Myers dan Katharine Briggs merumuskan 16 tipe kepribadian yang kita kenal dengan MBTI pada tahun 1917. Ada lagi penggolongan DISC yang juga tak kalah populernya, dicetuskan oleh William Marston pada akhir tahun 1920an. Belum lagi Enneagram, Holland Codes yang kini difungsikan juga untuk mengidentifikasi minat, 16 Personality Factors, dan lain-lain. Ada banyak sekali tipologi (penggolongan) kepribadian yang beberapa telah melalui rangkaian proses pembuktian secara ilmiah (beberapa tidak terbukti ilmiah / hanya pseudoscience). Jika sudah ada banyak teori-teori kepribadian modern yang lebih relevan, mengapa harus kembali kepada teori yang usianya sudah hampir 3000 tahun yang lalu?
Selanjutnya, penggolongan kepribadian ke dalam 4 tipe juga memiliki masalah: manusia tidak mungkin hanya bisa digolongkan menjadi 4 macam!
Artinya begini, sesungguhnya tidak ada manusia yang murni koleris, murni sanguinis, murni melankolis, atau murni phlegmatis. Empat temperamen ini bukan berbicara tentang empat tipe manusia, tetapi berbicara tentang empat sifat yang ada di dalam satu orang manusia. Satu orang memiliki keempatnya!
Kata “temperamen” sendiri, seperti yang digunakan oleh pencetus teori ini (Galen), berasal dari bahasa Latin “temperare” yang berarti “mencampur”. Keempat sifat itu bercampur ke dalam satu struktur kepribadian manusia. Sehingga, saya maupun Anda memiliki keempatnya. Saya bisa menjadi sanguinis dalam konteks tertentu, bisa menjadi koleris dalam konteks lain, bisa juga menjadi melankolis dalam situasi lain, dan menjadi phlegmatis dalam situasi tertentu lagi.
Dengan demikian, mengidentifikasi diri dengan satu temperamen saja adalah langkah yang salah, karena kita akan menggunakan keempatnya, dalam berbagai konteks tergantung situasinya. Saya memiliki sisi periang, perfeksionis, pemimpin, dan pecinta damai bergantung situasinya. Bukankah Anda juga dalam hal yang Anda sangat suka, biasanya akan perfeksionis dan antusias?
Lagipula, penggunaan 4 temperamen ini juga melenceng dari seharusnya. Pengetahuan tentang diri dan kepribadian sehendaknya digunakan untuk mengembangkan diri, tetapi praktik yang terjadi dalam masyarakat justru berbeda: mereka menggunakan konsep kepribadian ini untuk membenarkan kekurangan mereka!
- (“Karena saya sanguinis, wajar jika saya selalu berisik dan tidak empatik”)
- (“Karena saya melankolis, wajar jika saya sedih dan selalu merasa curiga”)
- (“Karena saya koleris, wajar jika saya berbuat kasar dan tidak peduli alasan orang”)
- (“Karena saya phlegmatis, wajar jika saya malas dan tidak bersemangat”)
Padahal penggunaan seperti itu adalah salah, karena, lagi-lagi, kita semua punya keempatnya! Dan dengan pengetahuan ini, justru seharusnya kita berfokus pada kelebihan temperamen yang sedang kita gunakan, sambil sekaligus mengabaikan sisi lemahnya.
- Gunakan sisi sanguinis Anda untuk menceriakan suasana, jika memang suasana yang dibutuhkan adalah ceria.
- Gunakan sisi melankolis Anda untuk mengerjakan sesuatu dengan standar yang tinggi, jika memang hal yang dikerjakan itu memang berkepentingan tinggi.
- Gunakan sisi koleris Anda untuk mengambil keputusan yang tepat dan menggerakan tim Anda, jika memang sedang berada dalam situasi genting atau jika Anda yang ditugaskan sebagai ketua.
- Gunakan sisi phlegmatis Anda untuk menciptakan suasana damai dan tenang, jika memang sedang ada konflik atau memang Anda sedang bersantai.
Atau, lebih baik, berhenti mengidentifikasi diri berdasarkan keempat temperamen itu, lebih baik kita identifikasi secara langsung apa kekuatan kita dan kita manfaatkan.
Mungkin bermanfaat.