Tiga Alasan Otak Kita Bekerja Lebih Baik Pada Pagi Hari, Tapi Tidak Selalu

Salah satu pesan terpenting dari buku “Eat That Frog”, buku tentang produktivitas yang ditulis oleh Brian Tracy, adalah: tugas pertama yang harus mulai dikerjakan di awal hari adalah tugas yang paling penting dan paling sulit. Alasan Tracy, jika kita tidak segera memulainya, kita akan terus menunda tugas sulit itu dengan mengerjakan tugas-tugas lainnya yang mungkin tidak se-urgent tugas tersebut.

Mendadak saya teringat dengan salah satu tokoh klasik psikologi, Hermann Ebbinghaus (1850-1909), yang melakukan sebuah eksperimen dan menemukan bahwa kita lebih cepat mengingat dan mempelajari sesuatu di pagi hari dibandingkan pada tengah hari dan malam hari. Teman-teman yang pernah kuliah psikologi pasti sudah familiar dengan eksperimen ini, yang kemudian mempopulerkan konsep “Ebbinghaus Forgetting Curve”. Ada di mata kuliah psikologi kognitif, kalau tidak salah.

Dari sini kita bisa melihat benang merah antara eksperimen Ebbinghaus dengan nasihat dari Tracy. Pagi hari adalah waktu terbaik untuk melakukan tugas-tugas yang sangat membutuhkan proses berpikir. Ternyata hal yang sama juga pernah diutarakan oleh Simon Folkard, seorang akademisi dari Laboratory of Experimental Psychology di University of Sussex. Folkard menguji kemampuan berlogika manusia pada enam waktu yang berbeda, dari pukul 08.00 sampai 23.00, dengan interval 3 jam. Hasilnya, tentu saja, selaras: kemampuan bernalar (berpikir logis) manusia meningkat dari pagi hingga mencapai menjelang siang hari, kemudian terus menurun sampai malam hari. Baik Ebbinghaus, Folkard, maupun Tracy memberikan insight yang sama: daya berpikir logis kita bekerja lebih baik di pagi hari daripada malam hari.

Ada beberapa alasan mengapa otak kita bekerja lebih baik di pagi hari daripada malam hari:

  1. Ketika kita bangun tidur, suhu tubuh kita perlahan meningkat. Peningkatan suhu tubuh ini juga secara perlahan meningkatkan tingkat kesadaran dan kewaspadaan kita, yang kemudian meningkatkan “executive functioning”, atau kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan berpikir deduktif.
  2. Daya atensi dan konsentrasi otak memiliki batas. Seiring dengan bergeraknya hari dari pagi ke siang, sore, dan malam; otak kita juga akan “lelah” dan membutuhkan istirahat. Mungkin analogi berlari bisa menjelaskan ini: saat sedang berlari, kita masih memiliki kecepatan penuh di awal, mamun semakin lama berlari, kecepatan kita akan melambat karena kelelahan. Otak juga memiliki mekanisme seperti ini dalam bekerja.
  3. Adanya fenomena “ego depletion”, yakni willpower maupun kontrol diri kita akan menurun dari pagi hingga malam hari. Dengan demikian, kita lebih memiliki kemauan untuk berupaya serta kemauan untuk mendisiplinkan diri pada pagi hari daripada malam hari. Secara psikologis, malam hari lebih terasa sebagai “waktu beristirahat” daripada “waktu bekerja”.

Dengan demikian, waktu terbaik untuk mengerjakan tugas-tugas sulit adalah pada pagi hari hingga menjelang siang hari.

Namun apakah sesederhana itu?

Ada catatan lagi yang perlu diperhatikan. Ternyata tidak semua tugas cocok dilakukan pada pagi hari. Daniel Pink, dalam buku “When: The Scientific Secrets of Perfect Timing”, mengatakan bahwa hanya tugas-tugas analitis yang memerlukan kemampuan penalaran tinggi yang dapat dilakukan dengan sangat baik oleh otak kita di pagi hari; sedangkan untuk tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas dan inovasi, justru pagi hari bukan waktu yang terbaik, melainkan malam hari. Psikolog Mareike Wieth dan Rose Zacks melakukan eksperimen dengan memberikan pertanyaan yang membutuhkan kemampuan berpikir dari perspektif lain, dan ternyata sebagian besar orang bisa menyelesaikannya bukan pada pagi hari, melainkan pada sore hari, di saat mereka tidak berada dalam kondisi optimal mereka. Temuan ini kemudian disebut secara populer sebagai “Inspiration Paradox” (Paradoks Inspirasi), bahwa otak kita akan lebih kreatif dan inovatif saat kita sedang tidak berada dalam kondisi terbaik kita. Tiba-tiba saya berpikir, mungkin ini juga yang memunculkan fenomena “The Power of Kepepet”, yakni ketika kita berada dalam kondisi kepepet, otak kita mendadak kreatif dan memunculkan banyak ide baru.

Maka dari berbagai uraian ini, ada dua hal yang bisa kita pelajari:

  1. Untuk mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan daya analisa dan daya berlogika yang kuat, pagi hari adalah waktu yang terbaik,
  2. Sedangkan untuk mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan kreativitas dan inovasi, sore hari adalah yang waktu yang lebih baik.

Jika dua hal ini dipahami, kita bisa mulai mengelola waktu kerja kita berdasarkan kemampuan otak kita ini. Memang tidak 100% waktu kerja kita bisa kita kendalikan, karena kita harus berkoordinasi dengan atasan, tim, maupun kolega. Setidaknya, jika memungkinkan dan memiliki pilihan, maka kita sudah tahu harus memilih mengalokasikan tugas apa pada waktu apa. Dengan demikian, kita bisa mendorong diri kita untuk mengaktualisasikan potensi performa terbaik kita.

Sebenarnya insight di atas akan lebih maksimal lagi jika kita memahami konsep chronotype, di mana kita bekerja tidak hanya berdasarkan dua prinsip di atas, tetapi berdasarkan irama sirkadian kita. Nampaknya ini lebih sulit diterapkan di Indonesia, di mana sebagian besar kantor sudah memiliki jam masuk dan jam pulang kerja yang nyaris seragam, mungkin para wirausaha (entreprenur) atau freelancer yang lebih bisa menerapkan chronotype ini. Tapi kapan-kapan mari kita bahas juga, karena menurut saya ini konsep yang menarik sekali.

Sambil menunggu, mungkin bisa terapkan dua hal tadi dulu, sambil mengamati hasilnya dan bisa diceritakan kepada saya.

Sekian.

Referensi:

  • Folkard, S. (1975). Diural variaton in logical reasoning. British Journal of Psychology, 66(1), h.1-8.
  • May. C. (2021, 6 Maret). The inspiration paradox: Your best creative time is not when you think. Diakses pada 2021, 6 Juni, dari Scientific American.
  • Pink, D.H. (2018). When: The scientific secrets of perfect timing. Riverhead Books.
  • Tracy, B. (2001). Eat that frog! Berrett-Koehler Publishers.
  • Wieth, M.B., & Zacks, R.T. (2011). Time of day effects on problem solving: When the non-optimal is optimal. Thinking & Reasoning, 17(4), h.387-401.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *