Hati-Hati, Self-Sabotage Berkedok Self-Love

Self-love atau mencintai diri sendiri menjadi kata yang cukup menarik untuk dibahas dan diucapkan belakangan ini, mungkin karena semakin meningkatnya kesadaran manusia akan kesehatan dan kesejahteraan mentalnya sendiri. Self-love sesungguhnya bukanlah hal yang baru karena sebenarnya sudah dibahas sejak awal tahun 1900an, namun pada tahun 1950an istilah self-love sendiri benar-benar digunakan dan menjadi populer oleh Erich Fromm.

Adapun mencintai diri berarti memperlakukan diri dengan penuh kelembutan dan kepedulian. Mencintai diri seringkali disalahpahami sebagai bersikap narsisistik, namun keduanya jelas berbeda: narsisistik selalu menganggap diri sebagai terbenar, sedangkan mencintai diri justru menerima jika diri sendiri melakukan kesalahan. Perbedaan lainnya, sikap narsisistik cenderung tidak sehat karena memunculkan keinginan untuk terus-menerus terlihat lebih baik dari orang lain, sedangkan mencintai diri sendiri justru membuat diri merasa lebih sejahtera.

Namun mencintai diri atau self-love ternyata tidak hanya sering dirancukan dengan narsisistik; belakangan saya mengamati bahwa self-love seringkali disalahpahami sebagai sikap memanjakan diri yang kemudian mengarah kepada self-sabotage. Istilah ini mungkin belum familiar, namun self-sabotage merupakan sebuah sikap dan perilaku yang umum terjadi pada manusia. Self-sabotage atau sabotase diri bisa didefinisikan sebagai pola pikir ataupun perilaku yang menjauhkan seseorang dari tujuan hidupnya. Dari segi definisi, self-love dan self-sabotage terlihat sangat kontras dan dapat dibedakan dengan mudah, namun pada praktiknya kedua hal ini seringkali tertukar.

“Saya mengabaikan semua omongan orang tentang diri saya, ini karena saya mencintai diri sendiri.” Kalimat ini merupakan salah satu contoh seseorang yang sedang melakukan self-sabotage dengan kedok self-love. Jika kita mengabaikan omongan semua orang, lantas bagaimana kita bisa mengoreksi dan mengevaluasi diri kita sendiri? Kesan dan komentar orang lain tentang diri kita tidak harus ditolak sepenuhnya, sebagian merupakan feedback atas apa yang sudah kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Menutup telinga dari semua pendapat orang lain justru akan membuat kita jalan di tempat atau bahkan mengalami kemunduran. Kita perlu mendengar omongan orang tentang kita, tetapi dengarlah dari orang-orang yang memang peduli terhadap pengembangan diri kita. Abaikan omongan orang yang hanya bisa mencela atau merendahkan kita tanpa memberikan umpan balik untuk kemajuan kita.

“Karena saya mencintai diri sendiri, saya tidak akan memaksakan diri ketika mengalami kegagalan. Saya menerima diri saya apa adanya, jika memang saya tidak bisa melakukannya, ya saya terima.” Menerima diri sendiri memang merupakan bentuk self-love yang amat dibutuhkan oleh manusia zaman sekarang. Namun, menerima diri sendiri bukan berarti tidak memiliki keinginan untuk berkembang. Bayangkan jika kita berpikir seperti itu saat kita masih berusia 1 tahun dan sedang belajar jalan, mungkinkah kita akan berhasil berjalan pada saat ini? Tentu tidak. Dalam proses belajar berjalan, kita mengalami jatuh berkali-kali yang diiringi dengan tangisan. Jika pada saat itu kita membiarkan diri gagal dan tidak mencoba lagi, maka mungkin kita akan terus merangkak hingga hari ini. Mencintai diri sendiri bukannya membiarkan diri menjadi bodoh atau lemah. Justru sebaliknya, mencintai diri sendiri justru mendukung diri sendiri untuk berkembang, menjadi semakin pintar dan semakin kuat. Jika mengalami kegagalan dalam prosesnya, orang yang mencintai diri akan menerima kegagalan itu secara lembut dan kemudian mencari strategi lain yang lebih efektif dari strategi sebelumnya.

“Saya mencintai diri sendiri, dan dengan demikian saya akan memenuhi semua keinginan saya. Jika saya menginginkan sesuatu, selama saya memiliki uang dan kemampuan, saya akan memberikannya kepada diri sendiri.” Mencintai diri sendiri bukan berarti memanjakan diri, ini dua hal yang berbeda jauh. Apakah terus-menerus memenuhi keinginan diri adalah hal yang baik? Dalam psikologi, dikenal istilah hedonic treadmill, yang menggambarkan bagaimana keinginan tidak akan pernah berhenti meski terus-menerus dipenuhi. Ketika satu keinginan terpenuhi, muncul keinginan lainnya; dan ini terjadi terus-menerus tanpa henti, seperti seseorang yang sedang berlari statis di atas treadmill. Apakah ini sesuatu yang baik? Tentu tidak. Jika kita biarkan ini terjadi, kita hanya hidup untuk mengejar keinginan-keinginan yang tidak akan pernah berhenti. Akan ada saatnya di mana kita tidak lagi mampu memenuhi keinginan kita dan menimbulkan kekecewaan. Sebaliknya, mencintai diri sendiri justru tahu bagaimana menyikapi diri yang penuh dengan keinginan. Apakah ini perlu dipenuhi? Apakah keinginan ini sebenarnya tidak penting? Seseorang yang mencintai diri tahu keputusan apa yang harus diambil.

Ketiga kalimat di atas merupakan contoh pemikiran self-sabotage yang seringkali dikelirukan sebagai self-love. Jika Anda memiliki pemikiran-pemikiran di atas, segera eliminasi. Jangan biarkan self-sabotage menghambat kemajuan hidup Anda. Self-love yang sebenarnya mengandung unsur kepedulian dan kelembutan; sudahkah Anda mempraktikkan itu untuk diri Anda?

(People photo created by 8photo – www.freepik.com)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *