Latihan untuk Melatih dan Mengembangkan Optimisme

Sesuai dengan pernyataan Martin Seligman dalam buku “Learned Optimism”, optimisme merupakan salah satu komponen psikologis yang penting untuk dimiliki jika kita ingin sukses dan bahagia. Orang-orang yang optimis akan mempersepsikan kejadian buruk dengan lebih positif, sehingga mereka akan lebih tangguh secara mental dan lebih memiliki daya juang; dan kita tahu bahwa ketangguhan mental maupun daya juang merupakan prediktor dari kesuksesan seseorang. Ada tiga ciri orang optimis yang bisa anda baca di sini. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana melatih diri agar bisa menjadi lebih optimis? Atau, bagaimana mengubah kebiasaan berpikir pesimis menjadi lebih optimis?

Keyakinan Negatif adalah Musuh Kita

Pertama-tama, kita harus mengetahui apa yang membuat seseorang sulit untuk berpikir optimis. Optimisme dan pesimisme adalah sebuah kebiasaan mental; artinya, optimisme dan pesimisme ini adalah sesuatu yang sudah dilatih berulang-ulang dalam pikiran kita dan bisa diubah. Kebiasaan mental ini kemudian mengendap dan menjadi sebuah keyakinan di dalam pikiran kita. Karena sifatnya yang berada dalam tatar bawah sadar, keyakinan ini kemudian membentuk pola pikir kita. Apa yang anda yakini tentang diri anda? Apakah anda meyakini anda ditakdirkan untuk sukses? Atau anda orang yang dibenci oleh sekitar anda? Atau anda adalah orang yang menyenangkan? Keyakinan dapat bersifat positif dan negatif (atau irasional), dan keyakinan itulah yang akan membuat kita menjadi optimis atau pesimis.

Orang-orang dengan keyakinan yang negatif, tentu saja, akan menjadi lebih pesimis. Keyakinan negatif ini muncul dalam banyak bentuk, tetapi secara garis besar muncul dalam 2 bentuk: (1) melebih-lebihkan, dan (2) generalisasi. Misalnya, ketika anda memecahkan sebuah gelas berharga milik ibu anda. Pikiran apa yang muncul? Bila pikiran yang muncul berasal dari keyakinan negatif / irasional, maka anda akan berpikir, “Saya memang bodoh, memegang sebuah gelas saja tidak becus, ini memalukan!”, atau anda berpikir, “Saya memang ceroboh, selalu merusak apapun yang saya sentuh.” Contoh pertama adalah melebih-lebihkan, sedangkan contoh kedua adalah generalisasi. Selain melebih-lebihkan dan generalisasi, keyakinan negatif juga bisa muncul dalam bentuk kombinasi di antara keduanya.

Lakukan Analisa P2K

Setelah mengetahui bentuk keyakinan yang negatif dan irasional tersebut, selanjutnya kita bisa melakukan sebuah analisa yang disebut sebagai analisa ABC. Singkatan “ABC” berasal dari tiga komponennya, yakni antecedent-behavior-consequence. Tetapi agar menjadi lebih mudah dipahami, maka analisa ABC ini saya adaptasi menjadi analisa P2K, terdiri dari pemicu-pikiran-konsekuensi.

Bayangkan sebuah kesulitan yang terjadi dalam hidup anda. Anda boleh mengingat kejadian yang sudah lewat atau membayangkan sebuah kejadian baru. Misalnya, memecahkan sebuah gelas berharga milik ibu anda. Apa yang anda pikirkan ketika kejadian tersebut terjadi? Dalam contoh sebelumnya, pikiran yang muncul adalah, “Saya memang ceroboh, selalu merusak apapun yang saya sentuh. Saya adalah orang yang bodoh dan tidak bisa diandalkan!”. Setelah itu, apa perasaan yang muncul?  Bisa jadi setelah itu anda merasa sangat sedih dan sebal dengan diri anda sendiri, anda merasa tidak berharga, dan sebagainya.

Kejadian memecahkan sebuah gelas adalah antecedent (dalam analisa ABC), atau pemicu (dalam analisa P2K). Mengapa saya katakan sebagai pemicu? Sebab kejadian ini memicu pemikiran yang optimis atau pesimis, tergantung dari kebiasaan mental kita. Tanpa pemicu, pikiran yang optimis atau pesimis tidak akan muncul.

Lalu kita berpikir bahwa kita adalah orang yang ceroboh. Ini adalah behavior (dalam analisa ABC). Namun, optimisme dan pesimisme adalah sebuah kebiasaan mental yang terjadi di dalam pikiran, sehingga saya adaptasi dengan sebutan pikiran (dalam analisa P2K). Setelah pemicu muncul, pikiran pun muncul, dalam bentuk optimis maupun pesimis. Berpikir bahwa diri kita ini ceroboh dan selalu bertindak bodoh adalah sebuah contoh pikiran pesimis.

Kemudian, karena berpikir kita adalah ceroboh, kita menjadi merasa bersalah atau sebal dengan diri sendiri. Ini adalah konsekuensi, yakni hal yang muncul setelah kita berpikir. Konsekuensi ini umumnya muncul dalam bentuk perasaan.

Sekarang kita tulis ketiga hal tersebut dalam analisa P2K:

P1 = memecahkan gelas berharga milik ibu.

P2 = saya adalah orang yang ceroboh dan bodoh! (pesimis)

K = merasa sebal dengan diri sendiri.

Coba anda buat analisa P2K pada satu kejadian yang sudah anda siapkan tadi.

Sudah?

Jika sudah, maka kali ini, mari kita ubah pikiran kita. Dalam kasus di atas, misal:

P1 = memecahkan gelas berharga milik ibu.

P2 = ah, tadi tangan saya tersenggol, seharusnya saya lebih hati-hati lain kali. (optimis)

Kira-kira apakah konsekuensinya akan berubah?

Bisa jadi, anda yang merasa sebal dengan diri sendiri akan merasa lebih baik.

K = baiklah, lain kali saya harus lebih hati-hati. Saya akan meminta maaf kepada ibu.

Bagaimana?

Contoh analisa P2K yang lainnya:

P1 = terjebak dalam kemacetan.

P2 = ah, kota ini sudah tidak tertolong lagi! Saya sudah tidak tahan! (pesimis)

K = bad mood sampai pulang ke rumah.

Padahal bisa saja:

P1 = terjebak dalam kemacetan.

P2 = baiklah, memang pada jam seperti ini jalan selalu macet. Bagaimana bila esok hari saya pulang di jam yang berbeda? (optimis)

K = mungkin sedikit sebal, tetapi lebih bisa menerima keadaan.

Intinya, gantilah cara berpikir anda, dari yang pesimis ke optimis, maka konsekuensi anda akan berubah. Tentunya berubah menjadi lebih optimis. Anda akan merasa lebih bahagia!

Ayo Tantang Keyakinan Kita!

Jika anda sudah lancar melakukan analisa P2K, maka seharusnya anda juga lebih mampu berpikir optimis. Tetapi bagaimana bila analisa P2K saja tidak cukup? Maka selanjutnya kita bisa menantang keyakinan kita.

Seperti yang tadi sudah diungkapkan, keyakinan yang negatif ini biasanya bersifat irasional, alias tidak masuk akal. Bila kita bisa menantangnya, maka keyakinan yang negatif ini bisa kita netralkan sehingga kita bisa berpikir dengan lebih optimis. Ingat bahwa keyakinan negatif umumnya muncul dalam 2 bentuk: (1) melebih-lebihkan, dan (2) generalisasi.

Mari kita gunakan sebuah contoh.

Keyakinan negatif: “Saya memecahkan gelas ini, saya adalah orang yang bodoh!” (melebih-lebihkan)

Apakah karena memecahkan gelas, lantas artinya anda adalah orang yang bodoh? Apakah kepintaran seseorang hanya diukur dari kemampuannya memegang gelas?

Keyakinan negatif: “Saya dihina karena badan saya yang pendek, saya memang pantas dihina” (melebih-lebihkan)

Apakah badan yang pendek artinya pantas dihina? Hanya karena badan anda pendek, bukan berarti anda jelek atau buruk.  Banyak juga orang-orang pendek yang berotak encer, dan apakah itu sebuah keburukan? Kata siapa juga orang pendek itu jelek? Tinggi badan bukanlah tolok ukur kecantikan / ketampanan seseorang. Bukankah ada juga selebriti-selebriti yang tinggi badannya di bawah rata-rata tetapi terlihat cantik atau tampan?

Dan, kalaupun pendek, lantas apa? Apakah orang pendek tidak berhak untuk bahagia?

Keyakinan negatif: “Saya memecahkan gelas ini, saya memang selalu melakukan hal bodoh.” (generalisasi)

Selalu? Apakah anda benar-benar selalu melakukan hal bodoh dan tidak ada satupun hal pintar yang pernah anda lakukan?

Keyakinan negatif: “Ia tidak menyapa saya, saya memang orang yang selalu dianggap tidak ada” (generalisasi)

Apakah anda benar-benar selalu dianggap tidak ada? Kalau begitu, mengapa ada orang yang mengenal anda?

Dan berbagai contoh lainnya.

Dengan menantang keyakinan negatif anda, maka anda akan lebih mudah mengganti P2 anda dari pesimis menjadi optimis. Anda pun menjadi lebih optimis.

Penutup

Coba lakukan teknik-teknik yang sudah dibagikan di atas. Bagaimana rasanya? Apakah anda merasa lebih baik dan menjadi lebih optimis? Sering-seringlah berlatih, karena teknik tersebut tidak akan berguna bila tidak dipraktikkan.

Referensi:

  • Seligman, M.E.P. (1991). Learned optimism: How to change your mind and your life. NY: Pocket Books.
  • Seligman, M.E.P., & Schulman, P. (1986). Explanatory style as a predictor of productivity and quitting among life insurance agents. Journal of Personality and Social Psychology, 50, h.832-838.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *